the Monkey Times – Twitter bertindak sigap dengan cara mengantisipasi dampak informasi menyesatkan yang dicuitkan penggunanya di Amerika Serikat (AS) lewat platform micro-blogging tersebut, terutama menjelang pemilu presiden disana.
Dilansir dari Reuters, pengelola Twitter akan menghapus cuitan yang dianggap mengganggu proses pemilu AS. Cuitan yang berpotensi memancing kekerasan juga akan dihapus guna menghambat penyebaran informasi yang tidak benar.
Twitter akan memberikan lebih banyak label peringatan sebelum seorang pengguna mencuit ulang konten informasi tentang pemilu AS. Label peringatan yang ditunjukkan natinya juga disertai pembatasan.
Lewat postingan di blog resmi Twitter yang ditayangkan Jumat (09/10/20), pengelola media sosial tersebut mengatakan label peringatan akan mulai berfungsi minggu depan.
Cara kerjanya terbilang sederhana: ketika seorang pengguna di AS melihat informasi yang dianggap menyesatkan, Twitter akan mengarahkan mereka untuk mengakses sumber informasi yang lebih kredibel.
Mengutip Reuters kembali, fitur tersebut sudah diuji-cobakan guna membuatnya jadi lebih terarah dan lebih jelas. Jadi ketika fitur label peringatan diaktifkan, pengguna akan melihat peringatan pada cuitan yang berisi informasi menyesatkan.
Konsekuensinya, pengguna hanya bisa mengutip cuitan namun takkan bisa membalas, me-retweet, atau menyukai cuitan tersebut.
Lebih jauh lagi, Twitter mengatakan siapa pun, termasuk kandidat yang bertarung di pemilu AS, tidak diperkenankan mengklaim kemenangan pemilu sebelum otoritas resmi AS memberi informasi yang sah.
Artinya klaim prematur akan diberi label peringatan, dan Twitter akan mengarahkan siapa pun yang membacanya ke laman resmi pemilu AS.
Selain itu cuitan yang mengajak orang untuk berbuat kekerasan akan langsung dibredel. Twitter mengatakan aturan ini berlaku di ajang pemilu kongres dan presiden AS.
Secara umum penggunaan media sosial di AS meningkat sejak 2006. Mengutip data NPR, tiga dari empat orang dewasa menggunakan setidaknya satu platform media sosial.
Peningkatan pengguna media sosial, sayangnya, tidak diikuti oleh kabar menggembirakan. Informasi menyesatkan cenderung membanjiri seluruh sudut media sosial.
Di AS, informasi menyesatkan menyebabkan polarisasi publik, terutama di momen krusial seperti Pemilu.
Kondisi itu memantik pengelola media sosial untuk bertindak mengontrol kerusakan.
Facebook, misalnya, tahun lalu memperkenalkan sebuah fitur yang coba mengontrol penyebaran situs yang mencurigakan.
Sementara itu Twitter melakukan pendekatan berbeda dengan membredel lebih dari satu juta akun yang dicurigai palsu.
Perusahaan media sosial memang kerap disorot, lantaran kemampuannya yang sangat cepat dalam hal penyebaran pesan. Tentu bisa kita bayangkan akibatnya bila pesan yang menyebar melalui medsos adalah pesan-pesan yang semata berisi kebohongan.
Bila sudah sampai di titik itu, media sosial dipastikan tidak menjadi tempat yang aman untuk berkomunikasi dengan sehat.