the Monkey Times – Sebuah studi berjudul “Long-term shifts in the colony size structure of coral populations along the Great Barrier Reef” (PDF) yang diinisiasi Arc Centre of Excellence Coral Reef Studies (CoralCoE), menunjukkan penurunan populasi terumbu karang ukuran kecil, medium, dan besar di Great Barrier Reef. Dan ini terjadi selama tiga dekade terakhir.
Penurunan populasi terumbu karang terjadi sebanyak 50 persen sejak tahun dekade 1990-an, ujar Professor Terry Hughes, rekan penulis dan peneliti CoralCoE, seperti dikutip dari situs resmi organisasi tersebut.
Lebih jauh lagi, penurunan jumlah karang terjadi baik di perairan dangkal maupun di wilayah perairan yang lebih dalam. Dan ini terjadi hampir di semua spesies, terutama karang yang bercabang dan berbentuk meja.
“Ini adalah yang paling parah terkena dampak (kenaikan) suhu (global) yang memecahkan rekor yang memicu pemutihan massal pada 2016 dan 2017,” lanjut Hughes.
Pada dasarnya karang berbentuk meja selama ini dikenal sebagai rumah bagi banyak spesies laut, terutama ikan. Kerusakan karang jenis ini jelas memicu berkurangnya jumlah ikan, dan pada gilirannya produktivitas perikanan di daerah terumbu karang.
Peneliti CoralCoE percaya gelombang panas laut yang disebabkan perubahan iklim jadi faktor utama meningkatkan frekuensi gangguan terhadap terumbu karang.
Studi yang dilakukan CoralCoE juga mencatat kerusakan koloni karang yang lebih besar di wilayah Great Barrier Reef bagian utara dan tengah. Sementara itu di bagian selatan, rekor kerusakan karang dipecahkan pada awal 2020.
“Tidak ada waktu lagi. Kita harus menurunkan emisi gas rumah kaca secepatnya,” Dr Andy Dietzel, peneliti CoralCoE yang menjadi penulis utama di studi tersebut.
Barisan terumbu karang terbesar
Great Barrier Reef merupakan nama yang mengacu pada barisan terumbu karang terluas di seluruh samudera yang merentang sejauh 2,300 kilometer dan berukuran 344,400 kilometer persegi.
Barisan karang tersebut ditemukan di Laut Coral yang berada di pantain Queensland, Australia. Ia adalah rumah bagi banyak spesies unik, termasuk kura-kura laut hijau dan surgeonfish.
Karang di dalam laut yang rusak parah jadi ancaman serius, sebab akan mempengaruhi keseluruhan ekosistem laut. Perubahan iklim jadi faktor dominan yang memicu kerusakan terumbu karang, selain faktor lain seperti polusi dan penangkapan ikan dengan cara-cara yang justru merusak ekosistem laut.
Penurunan dan/atau kerusakan karang, menurut catatan Secore, terjadi sebanyak 50 persen dalam 30 tahun terakhir. Dan lebih dari 90 persen kemungkinan besar akan mengalami kerusakan di abad mendatang.
“Dunia tanpa karang tidak hanya berarti kita akan memiliki lautan yang kurang beragam dan kurang indah, tetapi juga akan menjadi bencana ekonomi bagi banyak orang — terutama di negara berkembang.
Perikanan dan pariwisata merupakan mata pencaharian penting yang secara langsung bergantung pada terumbu karang yang sehat,” demikian catatan Secore.