the Monkey Times – Liburan natal dipastikan berbeda, setidaknya untuk negara Eropa seperti Inggris, yang akan menerapkan lockdown kedua untuk memastikan pandemi tidak berdampak lebih buruk.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengumumkan kebijakan tersebut akan dimulai pada 5 November sampai 4 Desember mendatang.
Keputusan pemerintah Inggris itu diambil setelah mencermati angka kenaikan kasus harian yang berlangsung cepat di seantero Inggris Raya.
Dalam sepekan terakhir, situs Worldometer mencatat grafik kasus harian di Inggris, yang cenderung ada di angka 20-ribuan kasus setiap hari.
Kemarin, 31 Oktober, Inggris mencatat 21,915 kasus baru dan 326 kematian baru akibat coronavirus.
Secara keseluruhan Inggris mencatat angka kumulatif sebanyak 1,011,660 kasus, per 31 Oktober, menurut data yang dihimpun dari Worldometer.
Boris Johnson: waktunya mengambil tindakan
Johnson yakin Inggris akan mengalami bencana medis bila kebijakan lockdown tidak diterapkan. Lebih jauh lagi Johnson menyatakan sekarang adalah waktu tepat untuk bertindak, guna mencegah lonjakan kasus di musim gugur.
“Layanan Kesehatan Nasional (NHS) akan kewalahan dan takkan disana bagi kita (bila kebijakan lockdown tidak diterapkan), kata Johnson seperti dikutip BBC.
Dampak kebijakan baru untuk menahan laju coronavirus di Inggris akan terlihat pada sejumlah sektor bisnis. Seluruh restoran, bisnis yang tidak esensial (salon, gym), dan pubs akan ditutup.
Meski begitu, taman bermain, sekolah dan universitas tetap diperbolehkan beroperasi selama masa lockdown. Selain itu orang-orang tetap diperbolehkan meninggalkan rumah dengan sejumlah ketentuan.
Salah satu ketentuannya mengatur pembatasan: bahwa orang diperbolehkan keluar rumah untuk kepentingan pekerjaan, pendidikan, membeli bahan makanan atau untuk kepelruan medis.
Rekerasi di luar ruangan atau olahraga tetap diperbolehkan, selama dilakukan bersama orang yang tinggal serumah atau bersama tetangga satu kompleks.
Dan bila bepergian keluar negeri untuk kepentingan pekerjaan, orang yang melakukannya harus mengikuti aturan karantina sekembalinya ke Inggris.
Eropa yang berjuang
Seantero Eropa sedang berusaha keras menghadapi gelombang kedua pandemi yang membuat beberapa negara disana menerapkan kebijakan khusus untuk mengurung penyebaran virus.
Di Jerman, misalnya, pertambahan angka kasus harian sebanyak 19,059 infeksi baru per 31 Oktober memaksa Kanselir Angela Merkel untuk menerapkan kebijakan lockdown yang akan berlangsung sejak 2 November sampai empat pekan ke depan.
Mengutip Sky News, Perancis juga menerapkan kebijakan lockdown yang berlaku sampai 1 Desember. Ini dilakukan setelah 36,437 kasus baru tercatat di Perancis pada Rabu silam.
Selama periode lockdown, warga Perancis hanya diperbolehkan keluar rumah untuk membeli bahan kebutuhan pokok, atau untuk alasan medis. Kegiatan olahraga diperbolehkan maksimal selama satu jam per hari.
Dan siapa pun yang mau pergi keluar rumah, itu pun dibatasi hanya sejauh 1 kilometer, harus mengisi formulir “attestation”.
Di belahan bumi Eropa lain, Belgia jadi negara di Eropa Barat yang paling terdampak oleh pandemi gelombang kedua.
The European Center for Disease Prevention and Control membeberkan data penyebaran coronavirus di negara tersebut, yang sekarang mencapai 1,600 kasus per 100,000 orang. Masih mengutip Sky News, jumlah orang yang dirawat di rumah sakit akibat coronavirus naik 77 persen lebih tinggi ketimbang pekan lalu.
Sama seperti negara-negara tetangganya, pemerintah Belgia saat ini mewajibkan sejumlah bisnis non-esensial untuk menutup operasionalnya.
Walau Belgia saat ini menyandang status paling terdampak, Spanyol – bersama Perancis – masih dilabeli sebagai negara dengan jumlah infeksi terbanyak ketimbang negara-negara lain Eropa.
Laporan DW menulis warga Spanyol diminta untuk mengenakan masker ketika meninggalkan rumah. Petugas polisi dimana-mana dan tentara Spanyol diikutsertakan untuk membantu melacak kontak erat dengan penderita.
Spanyol bahkan saat ini sedang memperlakukan jam malam, dan melarang orang-orang untuk bepergian keluar wilayah – kecuali untuk kepentingan mendesak yang berkaitan dengan pekerjaan.