the Monkey Times – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sikap terkait proses legislasi dan pengesahan UU Cipta Kerja, lewat surat Pernyataan Sikap yang disebarluaskan lewat akun Twitter resmi Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini pada 8 Oktober 2020, NU menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik.
“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk,” demikian bunyi pernyataan sikap tersebut.
Ada sembilan butir pernyataan sikap yang disuarakan PBNU, dan semuanya mencakup keberatan terhadap penerapan UU Ciptaker, mengingat dampaknya yang luas – salah satunya – terhadap kehidupan kaum pekerja dan buruh.
PBNU berpendapat upaya menarik investasi harusnya dibarengi dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Karena itu PBNU memahami kerisauan buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Ciptaker yang malah mengubah ketentuan di dalam UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur jangka waktu pekerja kontrak paling lama 3 (tiga) tahun.
“Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas,” lanjut PBNU.
Sikap Resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Terkait Pegesahan UU Cipta Kerja pic.twitter.com/MdKJEtynUY
— Nahdlatul Ulama (@nahdlatululama) October 8, 2020
Dengan diberlakukannya UU Ciptaker, secara otomatis aturan jangka waktu terlama bagi pekerja PKWT dihapus. Pekerja dengan status PKWT akan tetap berada dalam status tersebut sepanjang berlangsungnya industri. Kenyataan itu, menurut PBNU merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.
PBNU melanjutkan bahwa mereka membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional, termasuk lewat uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam situasi pandemi, tulis PBNU, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa.
PBNU tidak hanya bersikap terkait kehidupan buruh
Dalam pertanyaan sikapnya itu, PBNU tidak hanya mengeluarkan sikap terkait nasib buruh pasca penandatanganan UU Cipta Kerja.
PBNU juga mengungkap keberatannya terhadap bidang lain, misalnya, pendidikan. Ormas itu keberatan terhadap sektor pendidikan yang dimasukkan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha.
“Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitaslime pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati orang-orang berpunya,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Keberatan PBNU lainnya terekam lewat larangan untuk mengorbankan ketahanan pangan domestik, dan kemudian bergantung pada impor belaka.
Mari simak Pandangan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj (@saidaqil) terkait UU Cipta Kerja, 10/10/2020
— Nahdlatul Ulama (@nahdlatululama) October 10, 2020
Allahumma sholli alā Sayyidina Muhammad. pic.twitter.com/HoKKsZg9g1
Untuk soal pangan, PBNU menyoroti pasal 64 UU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan. Mengenai pasal ini, PBNU secara spesifik mengacu pada pasal 14 UU Pangan yang diubah melalui UU Ciptaker. Dalam keberatannya, PBNU menyebut peyandingan impor dan produksi pangan dalam negeri dalam satu pasal akan memunculkan kapitalisme pangan dan pada gilirannya membuka ruang bagi perburuan rente dalam bidang impor pangan.
Sentralisasi yang jadi semangat dalam penciptaan UU Cipta Kerja juga mencakup bidang sertifikasi halal. Menurut PBNU, Pasal 48 UU Cipta Kerja berpotensi memusatkan dan memonopoli fatwa kepada satu lembaga.
“Sertifikasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi,” tulis PBNU dalam pernyataan sikapnya itu.