the Monkey Times – Kamis (05/11/20), kita mendapat kabar: Indonesia resmi resesi. Kata ‘resesi’ terasa wah di telinga kebanyakan orang biasa yang – mungkin – hanya tahu urusan menafkahi keluarganya.
Perkaranya ada pada makna ‘resesi’ itu sendiri. Orang biasa mungkin tidak tahu apa artinya. Tidak pula mengerti dampaknya. Walau begitu, bukan berarti resesi sama sekali tidak berdampak bagi hidup orang kebanyakan.
Ketika Kepala BPS mengumumkan situasi ekonomi
Kamis, 5 November 2020, BPS mengadakan siaran pers yang bisa ditonton langsung di kanal Youtube lembaga tersebut. Kepala BPS, Suhariyanto, menjadi pusat perhatian.
Dia memaparkan banyak sekali angka-angka yang menjadi indikator situasi ekonomi Indonesia kekinian.
Salah satu angka yang penting untuk diperhatikan adalah kontraksi ekonomi Indonesia. Suhariyanto menyebut ekonomi Indonesia Q3 2020 secara year-on-year (dibandingkan periode yang sama tahun lalu) terkontraksi sebesar 3,49 persen.
“Tetapi kontraksinya tidak sedalam Q2 2020 5,32 persen,” katanya dalam jumpa pers virtual Kamis kemarin.
Konsumsi rumah tangga, menurut BPS, menyumbang angka kontraksi terbesar, dimana pada kuartal 3 2020, sektor ini terkontraksi 4,04 persen secara year-on-year.
Lebih jauh lagi, pemerintah mencatat kontraksi konsumsi rumah tangga lebih buruk ketimbang prediksi pemerintah sebelumnya, yakni sebesar 3 sampai 1,5 persen.
Secara umum konsumsi rumah tangga menjadi sumber kontraksi terdalam, yang bobotnya mencapai 57 persen.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga mencatat kontraksi di 17 sektor lapangan usaha, dimana 10 diantaranya terkontraksi. Sementara itu 7 sisanya masih tumbuh positif.
Sektor konstruksi, alat angkutan, makanan dan minuman dan pengolahan, merupakan beberapa sektor yang mengalami kontraksi, demikian catatan BPS.
Sebagai tambahan, pertumbuhan ekonomi di tiga kuartal 2020 dicatat sebagai yang paling lambat dalam sejarah ekonomi Indonesia selama dua dekade terakhir.
Dampak resesi bagi orang biasa
Dampak resesi muncul dalam berbagai bentuk. Semakin sedikit pekerjaan tersedia, misalnya, jadi indikasi sebuah negara memasuki resesi.
Ditakar dari kacamata individu, dampak resesi terasa ketika pendapatan seseorang berkurang.
Dan bila semakin banyak orang memilih menyimpan uangnya, untuk kemudian mengurangi konsumsi; atau bila sebagian besar bisnis kolaps dan berhenti tumbuh, maka saat itulah resesi terjadi.
Di tingkat inidivdu, resesi berarti mempersiapkan diri dengan berbagai macam strategi untuk bertahan di tengah kondisi yang tidak nyaman.
Ketika pendapatan menurun, misalnya, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.
Mencoret anggaran pengeluaran untuk streaming, liburan, atau makan di restoran, misalnya, bisa dilakukan demi menjaga kesehatan neraca keuangan.
Sebagian besar orang mungkin berpikir untuk mulai menabung dan menyisihkan uang di kala resesi menerjang. Walau begitu, keinginan ini jadi sulit direalisasikan di masa resesi.
Pendapatan yang berkurang, atau bahkan menghilang, jadi halangan utama bagi kebanyakan orang yang ingin menyimpan lebih banyak uang di masa seperti sekarang.
Akan tetapi resesi bisa jadi sebuah peluang bagus untuk mulai belajar mengatur keuangan pribadi dan keluarga.
Bila mampu menganalisis mana saja item pengeluaran yang harus dihapus, dan menggunakan uang hanya untuk kebutuhan yang benar-benar penting, maka resesi jadi situasi dimana kita bisa melatih diri untuk mengelola keuangan dengan cerdas.
Itulah arti resesi bagi kebanyakan orang biasa seperti kita.