tmtimes.id – Sejak 8 September 2020, angka kasus harian COVID-19 cenderung tetap berada di kisaran 3000-an kasus. Sudah 10 hari sejak tanggal tersebut, grafik kasus belum menunjukkan kecenderungan turun.
Ada banyak faktor yang bisa menjawab mengapa kurva pandemi di Indonesia cenderung seperti pelana kuda, naik turun. Sebelum ini terjadi kita sudah sering mendengar istilah kelaziman baru, alias new normal, yang digunakan pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Tapi toh kurva pandemi belum menunjukkan tanda-tanda turun. Angkanya setiap bulan justru menunjukkan kecenderungan terus naik. Lantas apa yang salah?
Visualisasi data jumlah kasus positif dibawah ini menunjukkan Jakarta Raya yang secara konsisten terus menempati daftar puncak kasus harian, meski rasio tes terhadap penduduk provinsi tersebut terbilang lebih baik ketimbang daerah lain.
Mengutip Kompas.com, Jakarta sudah melakukan 44.113 tes per satu juta penduduk – angka yang jauh lebih tinggi ketimbang rasio tes nasional sebesar 3,683 per satu juta penduduk.
Tetapi soalnya bukan cuma soal rasio tes yang lebih tinggi ketimbang angka nasional. Tingkat pelacakan di Jakarta Raya yang memburuk jadi faktor yang menjelaskan tingginya lonjakan kasus COVID-19 di tanah air.
Rendahnya tingkat pelacakan di DKI Jakarta berimbas kepada situasi pandemi yang belum terkendali. Situs Kawalcovid19.co.id, sebuah sumber informasi inisiatif sukarela yang memantau perkembangan COVID-19, sudah memperingatkan perihal bahaya rendahnya rasio pelacakan (Rasio Lacak Isolasi – RLI) yang berkorelasi dengan naiknya jumlah kematian dan jumlah kasus kumulasi positif.
Artinya – sebagaimana tergambar dari visualisasi data kumulatif pandemi di atas – bila pemerintah tidak mampu memenuhi himbauan WHO tentang perlunya pelacakan ke 25 orang untuk diisolasi untuk setiap satu kasus terkonfirmasi atau suspek, maka tingkat penyebaran pandemi sulit terkendali. Jakarta Raya adalah salah satu buktinya.
“Tes digunakan untuk konfirmasi, bukan untuk mengeluarkan (discard) kontak erat dari daftar pasien-pasien suspek dan probabel yang dikarantina/diisolasi, sebagaimana protokol yang berlaku”, tulis Kawal COVID-19. Lebih jauh lagi, rendahnya tingkat RLI tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di Surabaya, Sidoarjo, dan Semarang.
Walau begitu, bukan berarti tidak ada jalan untuk memperbaiki. Tim Kawal COVID-19 menyarankan satgas penanganan COVID-19 untuk – antara lain – meningkatkan RLI, menegakkan isolasi mandiri dan pemantauan, serta mempekerjakan tim khusus untuk melacak orang-orang yang melakukan kontak dengan pasien terkonfirmasi atau suspek.
Selain itu pemerintah juga diharapkan mengkarantina semua kontak erat selama 14 hari di fasilitas isolasi terpusat. Dengan memusatkan pasien di fasilitas isolasi, pemerintah jadi lebih mudah melakukan pengawasan.
Bila semua itu dilakukan, “kemungkinan transmisi di komunitas dapat dibatasi akan semakin baik dan mungkin dapat berujung pada memuncaknya kasus harian akan memuncak sebelum akhirnya melandai dan menurun,” tulis Kawal COVID-19.