the Monkey Times – Monita Tahalea, penyanyi perempuan Indonesia yang lahir pada tahun 1987 ini telah eksis di industri musik Indonesia semenjak ia mengikuti pencarian bakat Indonesia Idol pada tahun 2005. Warna khas suara jazz-nya mengantarnya untuk aktif berkarir di bidang musik jazz dan juga musik populer. Perempuan keturunan Maluku, Ambon, dan Austria ini juga kerap tampil di festival-festival musik jazz tanah air.
Dalam melahirkan album ketiganya yang berjudul Dari Balik Jendela, Monita Tahalea bekerja sama dengan para seniman musik lainnya mulai dari Lie Indra Perkasa (produser dan music arranger), Ananda Badudu (penyanyi), Bayu Risa (penulis lagu), Theoresia Rumthe (penulis lagu), Yosua Gian (musisi), Bernardus Ajutor Moa (komposer), dan Gerald Situmorang (musisi).
Album yang telah dirilis secara digital sejak 13 Maret 2020 ini secara spesial bercerita tentang angan dalam sebuah ruang dan waktu. Di album ini, Monita menghadirkan materi yang berbeda dengan album sebelumnya yang cenderung kepada karya-karya yang pop easy listening. Album Dari Balik Jendela ini menggunakan gaya penulisan lirik dan aransemen musik folktronik.
Folktronik terinspirasi dari musik genre folk dan dikolaborasikan dengan musik elektronik. Ada sepuluh lagu di dalam album ini mulai dari lagu Pada Waktu, Sesaat yang Abadi, Pada Air, Jauh Nan Teduh (featuring Ananda Badudu), Sound of Silence, Tapak Hening, Laila, Pada Angin, Sibu-sibu, dan Sayonara.
Monita Tahalea berharap album ini dapat menjadi bahan renungan tersendiri dan orang lain dapat memaknainya secara personal sehingga Monita tidak ingin membatasi makna album ini. Monita juga berharap semoga saat orang lain membuka jendela apa pun di dalam hidup, mereka dapat menemukan udara segar dan hal-hal baru untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi.
Berangkat dari Pengalaman Personal
Album ini dibuka dengan instrumental “Pada Waktu” yang berdurasi 57 detik, kemudian dilanjutkan dengan petikan gitar yang lembut yang hadir pada lagu “Sesaat yang Abadi”. Lagu kedua ini seakan-akan membawa kita untuk menikmati waktu karena waktu yang kita dambakan untuk menjadi kekal adalah sesuatu yang justru tidak akan kembali lagi.
Kamu juga bisa mendengar unsur psikedelik pada lagu ini (psikedelik merupakan gambaran atau visualisasi dari jiwa, aliran musik ini kerap menceritakan pengalaman tentang jiwa yang mereka dapatkan dari keadaan tidak sadar, meditasi, atau dari mimpi). Lagu ini berhasil membawa Monita menjadi masuk nominasi Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2019 di kategori Artis Pria/Wanita Solo Alternatif Terbaik.
Monita juga membawa perasaan ketidakberdayaan manusia di lagu “Pada Angin” dan “Pada Air”.
“Aku berserah pada waktu / Pasrah pada air / Terserah kau bawa ku / Ke mana pun mengalir // Berserah pada waktu / Pasrah pada angin.”
Lagu “Laila” juga menunjukkan adanya masa-masa yang dilalui oleh manusia dengan penuh kesakitan.
“Bersukalah dalam pengharapan / Sabar dalam kesesakan / Dan bertekunlah di dalam doa / Teguhlah hai kau jiwaku…”
Lirik ini terinspirasi dari ayat Alkitab yaitu Roma 12:12 dan Monita seakan hendak mengatakan bahwa kesakitan yang dialami seseorang dapat dilalui dengan berdoa dan selalu berpengharapan.
Lagu dengan berbahasa Inggris “The Sound of Silence” – Simon and Garfunkel di-cover ulang oleh Monita dengan lebih lembut. Lagu ini bercerita tentang kesunyian yang sedang dialami manusia. Lagu “Tapak Hening” menjadi karya Monita setelah ia menemui anak-anak di Bukit Wairinding, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Keceriaan Monita saat bertemu anak-anak tersebut ditutup dengan lagu “Sibu-Sibu” dan “Sayonara”. Pada lagu “Jauh Nan Teduh” yang dinyanyikan bersama Ananda Badudu juga memperlihatkan kegalauan, kegundahan, dan perjuangan manusia dalam mencari makna hidup.
Banyak Lirik yang Puitis di Setiap Lagu
Monita banyak mengeksplor lirik-lirik puitis bahkan ia melakukan kolaborasi dengan Theoresia Rumthe seorang penulis buku puisi yang aktif dalam dunia literasi dan sastra Indonesia. Pengalamannya saat berjumpa dengan anak-anak Sumba membuat ia tergerak untuk menulis lagu “Tapak Hening”.
Monita bercerita bahwa di sana ia melihat anak-anak berlari tanpa menggunakan sepatu dan betapa bersinarnya mata anak-anak tersebut. Melalui lagu tersebut, Monita berharap anak-anak tersebut dapat meraih mimpi mereka dan Monita berharap bahwa siapa pun yang mendengar lagu ini dapat membuka diri untuk membantu orang lain dalam meraih mimpinya.
Karya yang Jauh Lebih Dewasa dibanding Album Sebelumnya
Berbeda dengan album-album sebelumnya, Monita justru menghadirkan karya-karya yang jauh lebih personal. Monita seperti sedang menapaki perjalanan bermusiknya agar lebih berwarna dan bisa berwujud macam-macam. Ada banyak aransemen musik yang berbeda dengan album sebelumnya dan ia berhasil menampilkan sound-sound serta melodi yang fresh untuk didengar oleh telinga para pendengar musik.
Album ketiganya ini menunjukkan bahwa ia lumayan terbuka dengan aliran musik lain. Kemampuan menulisnya juga berkembang pesat. Tema-tema yang dipilih menunjukkan bahwa Monita telah memiliki jam terbang yang semakin tinggi sebagai seorang musisi. Monita juga tetap konsisten menyajikan lirk-lirik spiritualitas dengan kemasan yang lebih menarik dan sederhana. Pengkaryaannya pada album ini juga ia usahakan untuk berkolaborasi dengan banyak musisi lainnya sehingga album ini semakin berwarna.
Kehadiran Ananda Badudu juga mengagetkan pecinta musik tanah air khususnya para fans Banda Neira. Ananda Badudu dalam menciptakan lagu bersama Monita Tahalea agaknya tetap menghadirkan aura khas Banda Neira, akan tetapi hal tersebut menjadi sesuatu komposisi yang menarik dan bagus.
Kolaborasi mereka juga tampak natural dan tidak terkesan sedang dibuat-buat. Selain berkolaborasi dengan musisi lain, Monita juga tampak bereksperimen dalam menyanyikan ulang lagu penyanyi legendaris yaitu “The Sound of Silence” milik Simon and Garfunkel yang juga pernah dipopulerkan oleh Disturbed. Monita cukup berhasil memainkan berbagai layer vokal yang tidak tertebak arahnya dan ternyata menghasilkan vokal yang lembut dan sungguh nyaman masuk ke telinga. Dengan aransemen gitar akustik, lagu ini ia bawakan dengan ciri khasnya sendiri.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Monita Tahalea juga melahirkan “Sibu-Sibu” dan lagu “Sayonara” yang diiringi dengan musik elektronik dan bernuansa Lo-Fi (Low Fidelity adalah musik dengan karakteristik yang khas yaitu suara rendah dan tidak halus, tetapi sedikit kebisingan yang justru ikut memperindah) yang agak kikuk, ceria, namun juga menyenangkan. Album dengan total sepuluh lagu ini terasa sangat singkat dan flow tracklist-nya enak untuk dinikmati.