the Monkey Times – Di Hollywood, kita mengenal sosok Paul Thomas Anderson yang cukup konsisten membahasa isu keluarga dalam film-filmnya. “Boogie Night” (1997) dan “Punch-Drunk Love” (2002) adalah dua contoh di antaranya.
Dalam film-filmnya, sutradara yang akrab disapa PTA itu seolah menggambarkan kalau keluarga yang sejiwa seringkali lebih menyayangi kita ketimbang keluarga yang sedarah.
Selain PTA, ada pula sutradara yang juga konsisten (bahkan lebih konsisten) dalam mengangkat isu keluarga, yakni Hirokazu Koreeda. Seperti halnya PTA, isu keluarga yang diangkat Koreeda juga diambil dengan sudut pandang yang ironis. Sebagian besar temanya terinspirasi dari realita kehidupan berkeluarga di Jepang, sedangkan sisanya ia ambil dari pengalaman pribadi.
Anak Seorang Wansei yang Dulunya Sempat Menjadi Assistant Director
Bicara soal keluarga, mari kita kulik sedikit latar belakang keluarga dari Koreeda itu sendiri. Korreeda merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, serta menjadi satu-satunya anak laki-laki di keluarganya.
Ayahnya merupakan seorang wansei alias orang Jepang yang lahir di Taiwan, terutama di era pemerintahan Kekaisaran Jepang. Ayahnya menjadi wansei karena kedua orangtua sang ayah memiliki nama belakang yang sama, di mana saat itu sepasang orang Jepang dengan nama belakang sama tidak diperbolehkan menikah.
Akhirnya, orangtua sang ayah alias kakek dan nenek Koreeda pun terpaksa menikah di Taiwan. Latar belakangnya sang ayah sebagai wansei itu kelak memantik ketertarikan Koreeda terhadap negara tempat kakek-neneknya menikah itu.
Semasa muda, Koreeda sering diajak ibunya menonton film, bukan di bioskp melainkan di TV. Kebiasaan tersebut menjadi salah satu faktor penting mengapa Koreeda menyukai film dan terjun di dalamnya.
“Ibuku sangat suka film. Ia sangat menyukai Ingrid Bergman, Vivien Leigh, dan Joan Fontaine. Kami tidak mampu menonton film-film mereka di bioskop. Tetapi, kami masih bisa menontonnya di TV. Ia (ibu dari Koreeda, -pen) sering menghentikan kegiatan bisnis atau diskusinya, lalu mengajak saya menonton film-film mereka (Ingrid Bergman, Vivien Leigh, dan Joan Fontaine, -pen),” ujarnya yang dilansir dari The Guardian.
Sebelum menjadi sutradara film seperti sekarang, Koreeda terlebih dulu bekerja sebagai assistant director untuk suatu dokumenter televisi. Pada 1991, ia pun memulai debutnya sebagai sutradara lewat film dokumenter televisi bertajuk “Lesson from a Calf”.
Empat tahun setelahnya, Koreeda merilis film fiksi perdananya bertajuk “Maborosi” (1995). Film ini mendapatkan atensi positif dari khalayak di ajang Festival Film Venesia. Selain atensi positif, penghargaan di kategori Sinematografi Terbaik pun didapat Koreeda lewat film fiksi perdananya itu.
Betapa Pahitnya Kehidupan Keluarga di Jepang
Dari dulu sampai kini, Koreeda secara konsisten menjadikan isu keluarga di Jepang sebagai tema utama. Alih-alih menggambarkan betapa indahnya suatu keluarga, Koreeda justru menggambarkan kehidupan keluarga yang cenderung pahit. Selaras dengan realita yang terjadi di Jepang.
Kita ambil contoh salah satu filmnya yang paling terkenal, “Shoplifters” (2018). Film ini terinspirasi dari kebiasaan orangtua di Jepang yang memanfaatkan anak-anak mereka untuk mengutil.
Realitas itu ia racik menjadi kisah fiktif yang begitu memilukan, pahit, namun punya sisi indah di dalamnya. Pengalaman personalnya soal keluarga pun juga patut menjadi referensi, di mana “Still Walking” (2008) adalah contoh film yang berasal dari pengalaman tersebut.
Ada dua faktor mengapa Koreeda begitu konsisten memakai isu keluarga. Pertama, tentu saja pengalaman pribadinya soal keluarga, terutama sepeninggal kedua orangtuanya.
“Dalam 15 tahun terakhir, saya telah kehilangan ayah dan ibu saya. Sekarang, saya telah menjadi seorang ayah yang memiliki seorang anak perempuan. Dari situ, saya jadi paham kalau apa yang telah hilang dalam keluarga pasti akan diambil alih layaknya suatu siklus. Saya pikir, film-film saya cukup mewakili apa yang telah saya alami itu,” ujarnya pada The Guardian yang dikutip dari Tirto.id.
Faktor kedua berasal dari peristiwa gempa dan tsunami di Jepang pada 2011. Dari peristiwa itu, Koreeda mengambil kesimpulan kalau sistem keluarga tradisional Jepang perlahan telah terkikis.
Bagi Koreeda, hal tersebut tak semestinya terjadi. Sebab, sistem keluarga tradisional di Jepang masih bisa diterapkan kendati kini zaman sudah kian modern.
“Konsep keluarga tradisional sudah dihancurkan di Jepang. Dan peristiwa gempa dan tsunami hanyalah penegas bagi hal tersebut. Saya percaya Anda tidak bisa lagi menafsirkan bagaimana nilai dan tujuan brkeluarga berdasarkan tradisi yang berlaku di Jepang,” ujar sutradara kelahiran 6 Juni 1962 itu.
Banyak yang menyamakan Koreeda dengan Yasujiro Ozu yang notabene pelopor film bertema kepahitan dalam suatu keluarga. Namun, Koreeda punya ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan Ozu.
Pada film-film Koreeda, isu keluarganya banyak menggambarkan trauma pribadi atas suatu peristiwa, serta keprihatian pada suatu kemelut sosial. Berbeda Ozu yang lebih banyak menawarkan benturan antara tradisi dan modernitas.