the Monkey Times – Kalau Anda kebetulan mencari sebuah desa bernama Trowulan di mesin pencari, besar kemungkinan peta digital akan merujuk ke sebuah desa kecil di Mojokerto, Jawa Timur.
Sebagian besar orang yang berminat dengan sejarah berdirinya kerajaan Majapahit meyakini Trowulan sebagai tempat dimana Istana Majapahit pernah berdiri.
Keyakinan tersebut boleh jadi sebuah konsensus bersama – meski masih bisa diperdebatkan, mengingat Trowulan adalah sebuah desa, sekaligus situs dimana reruntuhan kuno dan serangkaian candi ditemukan. Karena alasan itulah Trowulan juga dikenal sebagai situs arkeologis.
Konsekuensi Trowulan sebagai situs arkeologis adalah: kita dengan mudah menikmati jejak-jejak masa lalu, pada zaman ketika julukan ‘nusantara’ belum dikenal, dan sebelum penjajah Eropa menginjakkan kaki di bumi nusantara.
Candi-candi, bekas pemukiman kuno, benda-benda tua, dan seterusnya, membuat Trowulan menyimpan daya tarik tersendiri.
Karena daya tarik itulah sebagian orang meyakini Trowulan sebagai tempat dimana ibukota Majapahit pernah berdiri.
Dua sumber cerita berdirinya Majapahit
Suatu kali Edy Santoso dalam bukunya, Cerita Rakyat dari Mojokerto, menyebut bahwa kisah berdirinya kerajaan Majapahit ada dua versi. Satu versi babad dan satunya lagi versi sejarah.
Ada perbedaan penting dari kedua versi tersebut. Bila versi babad menarasikan berdirinya Majapahit lewat cerita rakyat yang ditulis dan dituturkan turun-temurun, versi sejarah ‘resmi’ kurang lebih menarasikan pendirian Majapahit berdasarkan metode sahih yang bisa dipertanggung-jawabkan sesuai metodologi keilmuan sejarah.
Di sini kami ingin memaparkan keduanya sekaligus. Dan kami ingin memulainya dari berdirinya Majapahit berdasarkan narasi-cerita rakyat.
Sebagai catatan tambahan, versi yang kami tulis dibawah ini merupakan satu versi yang ditulis berdasarkan tuturan dalam buku Cerita Rakyat dari Mojokerto yang ditulis Edy Santoso.
Berdirinya Majapahit menurut babad
Syahdan, Kerajaan Pajajaran di era yang tidak tercatat sejarah mengalami pemberontakan yang dipimpin Ciung Wanara.
Kisah Ciung Wanara terbilang menyedihkan. Dia sebenarnya masih putra raja, walau lahir dari rahim salah satu selir raja. Peramal raja menerawang masa depan Wanara, dan meramal kalau kelak dia akan menyebabkan malapetaka bagi Pajajaran.
Walhasil Wancara dibuang. Namun dia berhasil bertahan hidup, menjadi seorang dewasa yang mendendam kepada kerajaannya. Dan kemudian melakukan pemberontakan.
Di tengah kondisi kacau karena pemberontakan, pangeran Pajajaran bernama Raden Jaka Sesuruh melarikan diri ke wilayah Timur – dalam peta modern kita mengenalnya sebagai Pulau Jawa bagian Timur.
Terkadang orang yang melarikan diri tidak tahu tujuan. Namun tidak dengan Raden Jaka. Dia sudah menetapkan tujuannya: puncak Gunung Kombang.
“Ia ingin menjumpai seorang nenek pertapa yang berdiam di puncak Gunung Kombang. Ia ingin meminta petunjuk pada nenek pertapa itu. Apa yang sebaiknya dilakukan sekarang,” demikian tulis Edy Santoso dalam Cerita Rakyat dari Mojokerto (Hlm. 2).
Di perjalanan Jaka Sesuruh berkenalan dengan Jaka Wirun, yang kelak bersama tiga saudaranya menemaninya menemui nenek pertapa di puncak Gunung Kombang. Dari nenek pertapa itulah Jaka Sesuruh mendapat petunjuk.
Dia disuruh meneruskan perjalanan ke arah Timur dan berhenti bila sudah menemukan daerah dengan Pohon Maja yang hanya memiliki satu buah saja. Oleh nenek pertapa, dia disuruh membangun perkampungan.
“Bukalah hutan di sekitar Pohon Maja itu. Jadikan sebuah perkampungan. Di situ Raden akan menjadi orang besar,” cerita Edy Santoso di dalam bukunya itu. (Hlm. 3).
Atas arahan dua ekor burung perkutut yang diberikan Nenek Pertapa, sampailah Jaka Sesuruh di Pohon Maja yang dimaksud sang nenek. Jaka Sesuruh memetik buah pohon tersebut, memakannya dan menemukan fakta bahwa buah tersebut ternyata pahit rasanya.
Tapi dari kejadian tersebut Maja menamai wilayah itu dengan sebutan ‘Majapahit’. Atas bantuan Jaka Wirun dan saudaranya, Jaka Sesuruh kemudian membabati hutan di sekitar pohon, menjadikannya sebuah dusun kecil yang lambat laun ramai dan terus berkembang.
Kelak ketika wilayah itu berkembang, Jaka Sesuruh menjadikannya kerajaan dengan nama yang sama seperti ketika dia memakan buah maja.
Dan secara otomatis Jaka Sesuruh menjadi Raja pertama Majapahit, dengan gelar Prabu Brawijaya. Dia kemudian mengangkat Jaka Wirun sebagai patih, sekaligus memberi posisi penting lain bagi ketiga saudaranya.