the Monkey Times – Sudah bukan rahasia lagi kalau Amerika seringkali ikut campur dalam berbagai peristiwa pergantian rezim yang terjadi di berbagai negara, apalagi bila mereka menyimpan ambisi kepentingan politik ekonomi disana.
Kita ambil contoh pada apa yang terjadi di Irak pada 2003, misalnya. Amerika menuduh negara itu dan penguasanya, Saddam Husein, menyembunyikan senjata pemusnah massal.
Walhasil Irak menerima invasi yang dilakukan Amerika beserta kroninya macam Australia, Polandia, dan Inggris Raya. Invasi yang menurut catatan sejarah berlangsung satu bulan sejak dimulai pada 19 Maret 2003 berhasil menyingkirkan Saddam Husein dari tahta Presiden, namun menciptakan situasi kacau berkepanjangan di negara tersebut.
Invasi terhadap Irak pada 2003 kemudian mengingatkan saya pada film Tears of the Sun yang kebetulan diproduksi pada tahun yang sama ketika invasi dimulai.
Disutradarai oleh Antoine Fuqua dan dibintangi Bruce Willis dan Monica Bellucci, Tears of the Sun kini ditayangkan lewat layanan video on-demand Netflix. Jadi tidaklah sulit mencari film yang muatan cerita dan visualisasinya mudah sekali memancing rasa haru penonton.
Sinopsis Tears of the Sun (2003)
Nigeria pada 2003 bukanlah negara yang ramah bagi Suku Igbo. Pemberontakan terjadi, begitu pula pembantaian massal terhadap Suku Igbo. Dalam situasi yang kacau dan penuh darah pembantaian, Presiden yang sah dan keluarganya dibunuh oleh pemberontak.
Dalam situasi tersebut, hiduplah dr. Lena Kendrick (Monica Bellucci) yang mengabdikan hidupnya merawat korban pembantaian etnis di sebuah kampung di pedalaman Nigeria. Dokter Kendrick adalah seorang janda. Suaminya seorang warga negara Amerika yang tewas ketika situasi di Nigeria memburuk; dan dia juga anak angkat dari seorang senator negara bagian. Walhasil, Lena Kendrick jadi figur yang penting untuk diselamatkan di tengah kekacauan yang disebabkan pemberontakan berdarah.
Sekelompok tentara Amerika yang dipimpin Letnan A.K Waters (Bruce Willis) ditugaskan menjemput Dokter Lena. Waters mendapat perintah langsung untuk mengevakuasi sang dokter beserta satu orang biarawati dan pastor yang bekerja bersamanya.
Serangkaian kejadian dalam usaha mengevakuasi sang dokter membuat A.K Waters dan anak buahnya menghadapi dilema antara menunaikan perintah langsung atasan atau mementingkan kemanusiaan. Berhasilkan A.K Waters mengevakuasi Lena dan orang-orang lain yang diajak bersamanya?
Review Tears of the Sun (2003)
Tears of the Sun mulai ditayangkan pada 7 Maret 2003, 12 hari sebelum invasi pertama ke Irak dimulai oleh Presiden George W. Bush. Tapi bukan berarti Tears berkaitan langsung dengan invasi Amerika ke Irak, atau film tersebut sebuah usaha untuk membenarkan kelakuan Amerika yang kerap mengintervensi urusan dalam negeri sebuah negara. Dalam lingkup yang lebih luas, saya jadi tergoda mengaitkan film itu dengan usaha Amerika untuk melunakkan citranya sebagai negara agresor.
Film dimulai dan kita disuguhi adegan demi adegan yang mennyuratkan takdir sebuah negara yang pemerintahannya terpilih secara demokratis, namun mengalami nasib buruk: rakyatnya dibantai karena ulah pemberontak. Sekuen demi sekuen adegan memperlihatkan kekejaman pemberontak yang mudah sekali mengingatkan kita akan hal sama yang terjadi di sejumlah negara Afrika lain seperti Sudan, Liberia dan Rwanda.
Aksi dalam film Tears of the Sun sebagian besar berlangsung di dalam hutan hujan yang gelap. Mengingatkan saya akan film-film perang yang sejenis seperti Rambo atau Sniper, misalnya. Di titik ini, penulis naskah Tears, Alex Lasker dan Patrick Cirillo agaknya masih terpengaruh film-film perang ala Hollywood yang kerap mempertontonkan nuansa heroisme perang yang, kalau tidak berlangsung di tengah hutan, ya di gurun pasir.
Ah ya, soal heroisme yang dinarasikan dalam film tersebut. Mungkin lebih tepat bila saya berpendapat heroisme yang dibangun cenderung menjurus ke arah sentimentalisme ala dunia fantasi.
Maksudnya begini, sepanjang film Tears of the Sun kita disodori representasi dimana para prajurit (Waters dan anak buahnya) dicitrakan bukan hanya sebagai prajurit yang dingin dan terlatih, namun juga kumpulan manusia yang dengan mudah mempertontonkan sentimentalisme ketika berhadapan dengan serangkaian kekejaman yang melibatkan para prajurit pembelot pemerintahan.
Elemen-elemen semacam itu bukanlah hal yang buruk. Sederet pertanyaan tentang bagaimana kekuatan militer merespon penderitaan manusia sebetulnya menarik untuk diperbincangkan. Apakah selamanya seorang prajurit harus dingin menaati perintah atasannya dalam sebuah misi? Ataukah mereka harus melibatkan bentuk emosi lain ketika berhadapan dengan kekejaman kepada kemanusiaan?
Di titik itu, Tears menyajikan jawaban gamblang untuk pertanyaan kedua. Sederhananya, emosi manusia, lapangnya hati, rasa iba, loyalitas, dan kesedihan bercampur aduk dengan profesionalitas prajurit yang wajib mematuhi perintah atasan ketika mereka menjalankan sebuah misi.
Dan dengan demikian, menurut saya, Tears of the Sun menyajikan “Dunia Ketiga” macam Nigeria sebagai medan dimana moralitas Amerika – dalam hal ini kulit putih – dicitrakan lebih unggul ketimbang, misalnya, citra kulit hitam yang digambarkan sebagai makhluk yang kerap ditindas dan tidak bisa bangkit tanpa pertolongan dari Amerika dengan segala macam atribut kecanggihan militernya.
[rwp-review id=”0″]