Ringkasan Review: Film ini merepresentasikan bagaimana tokoh Django membela harga dirinya di tengah situasi dimana para budak kulit hitam direpresentasikan sebagai kumpulan manusia pasrah dan penurut yang tidak mampu berbuat apapun, bahkan untuk sekadar berargumen dengan majikannya.
the Monkey Times – Dunia Barat, apalagi yang berhubungan dengan Amerika Serikat menjelang abad 19, diasosiasikan dengan – setidaknya – dua hal: koboi dan perbudakan. Bagaimana bila dua hal tersebut disatukan dalam sebuah film?
Jawabannya bisa kita lihat pada film Django Unchained (2012), yang sekarang bisa kita tonton hanya dengan berlangganan streaming film melalui Netflix.
Tapi Django jadi menarik bukan karena ditayangkan film itu tayang di Netflix. Bagi kami, film tersebut menarik pertama-tama karena ia merupakan buah karya sinematis yang dikerjakan Quentin Tarantino.
Dan karena Django adalah karya sinematis Tarantino, sudah pasti kita menemukan banyak sekali elemen sinematografi yang khas milik sang sutradara.
Termasuk diantaranya pertunjukan kekerasan yang intens, dan juga close-shot yang menjadikan tokoh dalam film seolah-olah sedang berbicara dengan penontonnya.
Sinopsis Django Unchained
Amerika abad ke-19 bukanlah tanah terjanji bagi warga kulit hitam. Tapi disana hidup seorang pemburu hadiah Jerman bernama dr. King Schultz (Christoph Waltz). Perjalanannya sebagai pemburu hadiah menuntun dia bertemu Django (Jamie Foxx), seorang budak kulit hitam, yang kelak menemani perjalanannya dalam memburu buronan pemerintah Amerika Serikat.
Schultz adalah seorang “koboi” handal. Kejam terhadap buronan, namun mudah menaruh rasa iba pada budak. Serangkaian peristiwa perburuan terhadap kriminal, yang dijalaninya bersama Django, membawa mereka berdua semakin dekat satu sama lain. Schultz akhirnya tahu Django memiliki istri, Broomhilda von Schaft (Kerry Washington), yang dimiliki oleh seorang juragan perkebunan kapas, Calvin Candie (Leonardo DiCaprio).
Mereka berdua harus berpura-pura sebagai pedagang budak demi mendekati Calvin dan membebaskan Broomhilda dari statusnya sebagai budak. Berhasilkah mereka melakukannya?
Review Django Unchained
Django Unchained adalah film dengan dialog-dialog panjang. Melelahkan bagi yang terbiasa dengan film aksi, menyenangkan bagi penggemar Tarantino.
Tapi menurut kami, menyenangkan untuk melihat akting Leonardi DiCaprio di film itu memainkan karakter penjahat dengan sangat baik.
Memerankan karakter seorang pengusaha kejam dan pedagang budak jadi sebuah kesempatan kedua bagi DiCaprio sepanjang karirnya sebagai aktor.
Singkat cerita: itu adalah kali kedua DiCaprio memainkan peran sebagai penjahat, tepatnya sejak dia berperan sebagai raja lalim King Louis XIV di film The Man in the Iron Mask (1998).
Konon katanya DiCaprio tidak nyaman memainkan peran sebagai seorang pedagang budak rasis di Django. Namun dengan bujuk rayu yang tepat, Tarantino berhasil meyakinkan DiCaprio untuk memerankan tokoh Calvin dan menjadikannya sejahat mungkin. Nah, di titik itulah kualitas DiCaprio sebagai aktor terlihat.
Calvin ditampilkan sebagai juragan kejam, tak mau kalah, dan bangga dengan statusnya sebagai seorang yang sangat berpengalaman dalam perdagangan budak.
Sebaliknya tokoh baik kita, Schultz dan Django, dibuat kerepotan menghadapi dunia koboi ala Amerika Serikat yang direkayasa sedemikian rupa, sampai-sampai pilihan hidup bagi mereka kelihatannya hanya tersisa dua: menjadi orang baik dan taat hukum, atau menjadi tegas dan kejam agar tidak tertindas.
Django secara sadar memilih opsi kedua. Bukan hanya karena dia secara faktual adalah warga kulit hitam, melainkan juga karena dia harus menjadi kejam agar bisa menyelamatkan istrinya dari tangan seorang pengusaha dan pedagang budak.
Django Unchained memperlihatkan sisi kejiwaan seorang budak macam Django, yang menyadari bahwa dia harus terbiasa dengan cara main kulit putih dan bangkit melawan mereka demi membela harga dirinya dan istrinya.
Dan Django melakukannya dengan baik di tengah situasi dimana para budak kulit hitam direpresentasikan sebagai kumpulan manusia pasrah dan penurut yang tidak mampu berbuat apapun, bahkan untuk sekadar berargumen dengan majikannya.