the Monkey Times – Saya punya pengalaman buruk dengan buku Para Bajingan yang Menyenangkan, buah karya Puthut EA yang dulu saya beli di sebuah toko buku di bilangan Jogja. Pengalaman itu membuat saya rada getun (menyesal). Bayangkan, saya meninggalkan buku ini di ruang tunggu Stasiun Lempuyangan!
Apa nggak goblok itu? Tapi mungkin karena saking menyenangkannya buku ini ketika dibaca, makanya saya jadi meninggalkannya di bangku ruang tunggu stasiun.
Terus, apa yang menyenangkan dari Para Bajingan yang Menyenangkan? Pertama-tama, karena buku Puthut itu terasa personal, dan yang lebih penting, terasa dekat dengan saya.
Dekat karena saya pun sama dengan Puthut: sama-sama pernah tumbuh di Jogja dan mengalami masa-masa pendidikan tinggi di kota ini.
Saya cenderung lebih menyukai buku yang dekat dengan saya, dan disampaikan dengan narasi personal.
Membuka halaman demi halaman Para Bajingan, Puthut sendiri secara implisit mengatakan kepada pembacanya bahwa bukunya itu ditulis untuk “salah satu sahabat terbaik saya” (hlm. 1) yang namanya sendiri tidak sanggup disebut oleh Puthut.
Dan kita sebagai pembaca pun seolah diajak meyakini bahwa buku Para Bajingan adalah buku yang didedikasikan untuk sahabat tercinta Puthut.
Masa muda yang penuh gairah
Mungkin benar bila ada yang bilang bahwa Puthut adalah pendongeng tulisan yang baik. Dia begitu antusias memenuhi bukunya dengan energi cerita dan dialog-dialog lucu diantara tokoh yang hidup di dalam Para Bajingan – teman-temannya sendiri itu.
Kalau mau dirunut, kita bakal menemukan 6 tokoh sentral di dalam Para Bajingan:
- Almarhum
- Bagor
- Puthut sendiri
- Kunthet
- Proton
- Babe
Saya awalnya menduga mungkin buku ini jadi semacam memoar masa muda Puthut, lebih tepatnya memoar masa muda yang remuk dan penuh kenakalan.
Tapi rasa-rasanya Para Bajingan bukan sepenuhnya memoar yang faktanya bisa diverifikasi kebenarannya. Benar bahwa sepenuhnya buku itu diisi oleh cerita masa muda Puthut di sebuah kota pelajar.
Puthut dengan lihai membawa pembacanya ke semesta buku penuh dengan dialog-dialog jalanan. Sehari-hari. Apa adanya.
Dialog-dialog dalam Para Bajingan membantu kita berimajinasi, setidaknya membayangkan seperti apa sesungguhnya tampang fisik teman-temannya itu. Bagaimana gesturnya ketika salah seorang dari mereka berbicara. Atau bagaimana sifat Bagor, misalnya, yang di dalam Para Bajingan sepertinya tidak pernah berhenti ‘ngegas’ ketika berbicara.
Perasaan-perasaan itu membuat saya meyakini bahwa alih-alih sedang membaca memoar yang kebenaran dan detil ceritanya bisa diverifikasi, saya sedang membaca sebuah novel.
Memoar dan ingatan yang terdistorsi
Ingatan manusia selalu terbatas. Kita mungkin bisa mengingat dengan baik gambaran besar sebuah kejadian yang sudah lewat setahun, namun rasanya mustahil kita bisa mengingat detil-detil kejadian tersebut.
Itu menjadikan beberapa bagian dari ingatan kita kosong. Bagian kosong dalam gambaran besar ingatan manusia itulah yang biasanya kita isi dengan cerita lain. Menurut saya, manusia selalu berusaha keras menambal kekosongan ingatan atas sebuah kejadian yang sudah lampau.
Nah, menurut saya pula, itulah yang dilakukan Puthut lewat Para Bajingan. Dia mengingat dengan baik gambaran besar pengalaman kenakalannya dengan 5 temannya, tapi dia mungkin tidak bisa mengingat semua detil percakapan, kejadian, maupun peristiwa yang sudah tahunan, bahkan puluhan tahun terlewat.
Di situlah fungsi imajinasi sastrawi masuk. Kalau sastra identik dengan imajinasi, maka Puthut memakai resep imajinatif untuk membangun suasana gerr, humor, sekaligus merekonstruksi ulang kekosongan ingatan masa mudanya.
Salah satu contoh gamblang bisa kita baca di halaman 53-55, dimana Puthut bercerita tentang Bagor yang seorang muslim menjamu orang tuanya dengan masakan haram.
Orang tua Bagor yang mulanya tak sadar sedang dijamu apa, langsung tegang begitu tahu bahwa anaknya yang sontoloyo itu menjamu mereka berdua dengan makanan yang dilarang di dalam agama.
Yang menarik dalam pengisahan di halaman tersebut adalah istri Bagor, Irma, yang oleh Puthut diceritakan langsung lari ke lantai dua, masuk ke dalam kamar, dan tak kuat menahan tawa.
Persis di titik itulah saya beranggapan bahwa Puthut membangun imajinasi humor untuk melengkapi potongan cerita tentang kekonyolan Bagor.
Tanpa kemampuan berimajinasi yang kuat, Para Bajingan yang Menyenangkan saya rasa takkan bisa jadi selucu itu.
Buku yang pantas dibaca, karena menyenangkan
Begitulah Para Bajingan yang Menyenangkan. Boleh jadi Puthut memperlakukannya sebagai memoar. Boleh jadi dia juga memperlakukannya sebagai karya fiksi yang dibangun berdasarkan kisah nyata hidupnya.
Meski tak ada pernyataan bahwa Para Bajingan Yang Menyenangkan ‘sepenuhnya dibangun berdasarkan cerita nyata’, tak ada salahnya kita menikmatinya seperti sedang membaca novel seorang pengarang milenium yang secara kultural punya nama lumayan mentereng di jagat kepengarangan di Jogja.
Oh ya, kamu sudah tahu kalau Puthut juga sekarang adalah Youtuber?