the Monkey Times – Beberapa hari lalu terbetik berita tentang PT Industri Kereta Api (Inka) yang melakukan ekspansi bisnis dengan memproduksi bus listrik bernama E-Inobus.
Menurut Direktur Utama PT Inka, Budi Noviantoro, uji landasan E-Inobus sudah dilakukan pada 13 Agustus 2020. Dan akhirnya dinyatakan lulus dan layak mendapat Sertifikat Uji Tipe (SUT) kendaraan bermotor pada 10 September 2020 silam, menurut laporan Liputan 6.
PT Inka kemudian disebut-sebut sudah mendapat pesanan E-Inobus sebanyak 300 unit, yang nantinya akan disediakan untuk Democratic Republik of the Congo (DRC).
Syahdan, PT Inka bukan satu-satunya penyedia transportasi yang menaruh visi transportasi massal pada keberadaan bus listrik. Ada TransJakarta yang juga melakukan hal yang serupa, dengan visi penyediaan 14,000 unit bus listrik yang rencananya akan lalu lalang di jalanan Jakarta pada 2030.
Dua fenomena tersebut setidaknya menampakkan obsesi penyedia transportasi Indonesia terhadap ketersediaan bus listrik, meski kita bukan satu-satunya negara menyimpan keinginan tersebut. Di luar sana ada Eropa dan China yang sama-sama menaruh obsesi serupa.
Namun, China jadi satu-satunya pemain global yang mengoperasikan bus listrik dalam jumlah yang terbilang masif.
99 persen bus Listrik global ada di China
Kalau Amerika Serikat hanya memiliki 300 bus listrik yang beroperasi di jalanan sana, China mengoperasikan 421,000 bus listrik di seantero negara, per 2019, menurut Bloomberg. Lebih jauh lagi, dari 425,000 bus listrik yang beroperasi secara global, 421,000 unitnya ada di China.
Besarnya presentase bus listrik yang beroperasi di China berarti negara tersebut menghidupkan obsesi kepada jenis transportasi tersebut. Sampai-sampai 99 persen bus listrik global hanya bisa ditemukan disana.
China memang terlihat agresif untuk urusan transportasi ramah lingkungan. South Morning China Post sempat melaporkan hitung-hitungan kuantitas bus listrik di China, dengan cara mengambil kota Shenzhen sebagai contoh.
Ada 16,000 bus listrik yang beroperasi di Shenzhen pada akhir 2017. Angka ini disebut-sebut sebagai buah yang bibitnya ditanam pada 2013 silam. Di tahun itu – mengutip South Morning kembali – terbit rencana, bahwa kota Shenzen akan melakukan elektrifikasi untuk seluruh bus kota yang beroperasi disana.
Pertanyaannya: bagaimana kota tersebut merealisasikan rencananya?
Kuncinya ada di subsidi yang diberikan kepada operator Shenzhen Bus Group – perusahaan yang mengoperasikan semua bus umum di kota tersebut. Subsidi senilai 500,000 yuan diberikan kepada Shenzhen Bus Group, per satu unit bus listrik yang beroperasi disana. 400,000 yuan diberikan oleh otoritas pemerintahan Shenzhen, dan 100,000 yuan sisanya diberikan oleh pemerintah pusat China.
Dengan demikian, 16,000 bus listrik yang beropeasi di Shenzhen pada 2017 menerima total subsidi sebesar 8 miliar Yuan, atau sekitar Rp 17,5 triliun. Angka ini disebut-sebut sebagai jumlah subsidi yang belum pernah diberikan kepada kota lain di seluruh daratan China.
Namun bus listrik bukan cuma soal wujud kendaraan, melainkan juga soal penyediaan stasiun pengisian listrik. Seiring dengan meningkatnya jumah armada bus listrik disana, pemerintah Shenzhen di waktu bersamaan juga membangun 40,000 stasiun pengisian baterai di seluruh kota, dengan jumlah investasi yang tidak disebutkan.
Pemenuhan obsesi Shenzhen terhadap bus listrik tidaklah gampang, mengingat harga satu unit bus yang terbilang mahal, alias sekitar 1,8 juta Yuan, atau sekitar Rp 3,9 miliar. Di China, harga satu unit bus elektrik dua kali lebih mahal ketimbang bus konvensional berbahan bakar diesel.
Namun di balik itu juga berarti ada penghematan. Sebab setiap penggunaan 1,000 bus elektrik bisa menghemat 500 barel BBM dalam sehari. Jadi ada imbal balik yang sepadan ketika satu bus listrik dioperasikan di jalanan Shenzhen. Dalam arti harga bus elektrik dan operasionalnya yang mahal, tertutupi oleh besarnya jumlah subsidi yang diberikan pemerintah China.

Eropa yang mengejar ketertinggalan
Tahun 2019, Eropa berusaha mengejar China dalam hal jumlah bus listrik yang beroperasi di benua tersebut. Sampai Mei 2020, menurut Sustainable Bus, 40,000 bus elektrik beroperasi di Eropa. Hanya saja jumlah tersebut terdiri dari gabungan beberapa jenis bus listrik, termasuk bus berbahan bakar sel baterai, plugin, dan trolleybus.
Amsterdam, sebuah kota yang penduduknya tidak lebih dari 1 juta orang, bolehlah kita sebuat sebagai salah satu pusat keramaian bus listrik. Disana perusahaan VDL Bus & Coach menyediakan 100 bus elektrik kepada perusahaan operator bus bernama Connexxion. Sejumlah bus tersebut digunakan di sepanjang jalur Amstelland Meerlanden sejak 1 April 2018. Seluruh 100 bus disana melayani jalur sepanjang 30,000 kilometer per hari.
VDL bukan satu-satunya pemain di Amsterdam. Ada Syntus dari grup Keolis yang mensuplai 2 bus listrik untuk Amersfoot pada 2018. Dengan fakta tersebut, Belanda, khususnya, jadi negara Eropa yang berkembang dalam hal penyediaan bus listrik. Mengutip Sustainable Bus lagi, setiap bus baru di Belanda harus bebas emisi, dan aturan ini dimulai pada 2025.
Ramainya jalanan Belanda dengan keberadaan bus listrik ditandai oleh riuhnya jalur Groningen – Drenthe, yang di masa depan bakal diramaikan oleh kehadiran bus jenis itu. Sebuah kesepakatan pada Maret 2019 memungkinkan operator Qbuzz mengoperasikan 60 armada yang disediakan Ebusco. Sementara sisanya disediakan VDL (43 unit) dan Heuliez Bus Further (59 unit). 162 armada bus tersebut akan melengkapi keberadaan 10 bus di jalur tersebut, yang sebelumnya sudah disediakan VDL.
Sementara Belanda berusaha keras menambah jumlah armada bus listrik, negara lain di Eropa juga tak mau ketinggalan. Di Inggris, terbit kabar operator bus Stagecoach telah menginvestasikan modal sebesar 56 juta poundsterling, atau sekitar 1,07 triliun, untuk menyediakan 105 bus tingkat elektrik yang rencananya bakal tersedia antara 2019 dan 2020. Dari jumlah total investasi tersebut, pemerintah Inggris ikut urun rembug dengan menyediakan sebagian modal, senilai 21,5 juta poundsterling.
Walau tertinggal dari China, pesona armada bus listrik pelan-pelan menjalar ke seluruh Eropa.
Eropa pelan-pelan mereka mengejar ketertinggalan mereka dalam hal penyediaan layanan transportasi “ramah lingkungan”. Inggris dan Belanda jadi dua contoh yang patut disebut.