Sering kali aku memandang remeh sesuatu, melihatnya tak berharga padahal di dalamnya terdapat hal-hal yang luar biasa seperti cacing planaria yang sering disingkiri atau dimusnahkan orang, ternyata berguna sebagai bioindikator kualitas perairan air tawar. Planaria membuatku optimis, keterbatasan fisikku bukanlah batasan untuk bisa melakukan sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi banyak orang. Aku memandangi lagi foto-foto penelitianku, tepat pada foto cacing planaria itu aku berhenti, lalu mengucap, “Hai makhluk kecil yang tak bertulang sesungguhnya kau adalah sang guru kehidupan. (Si Kecil Tak Bertulang, Sang Guru Kehidupan)
Dimas Pangestu
the Monkey Times – Susilo membaca salah satu tulisan peserta Borobudur Student Festival 2022. Ia berkata bahwa ia sangat tersentuh dengan tulisan Dimas. Bagi Susilo, tulisan Dimas adalah sebuah bahan refleksi yang luar biasa. Dimas, murid SMAN 1 Bandongan tersebut mengamati dan mencermati cacing planaria di sungai dekat lereng Gunung Sumbing selama empat bulan.
“Walaupun ia seorang difabel, ia tidak mau dibelas kasihani. Bahkan ia sangat semangat untuk berangkat ke sungai tanpa dipapah orang lain, tapi orangtuanya tidak mengizinkannya,” ungkap Susilo. Suatu hal yang menarik dari acara ini adalah bahwa anak-anak diajak untuk membangun rasa solider.
Dimas justru dibantu oleh teman-temannya untuk melakukan riset di sungai. Ini adalah salah satu kisah yang berkesan bagi Susilo dan masih banyak kisah menarik yang dialami Susilo selama berada di dunia kebudayaan dan pendidikan anak.
“Saya sedang senang-senangnya membersamai anak muda sebagai subjek yang bisa memerdekakan diri,” ucap Susilo Adinegoro. Susilo, salah satu pendiri Sanggar Anak Akar ini telah membersamai banyak anak muda khususnya anak Jakarta dengan menerapkan sistem pembelajaran alternatif.
Merefleksikan Tujuan Hidup
Kondisi kualitas pendidikan normatif hari ini membuat ia tidak bisa hanya menjadi penonton, ia tergerak untuk mendukung pendidikan anak Indonesia lewat lintas disiplin berbagai cabang ilmu yang kemudian mendorong anak-anak muda untuk berkarya.
“Banyak lho anak muda yang gak bisa merumuskan apa tujuan dari belajar, sama gak tujuan belajar itu dengan tujuan hidupmu?” Pertanyaan ini menjadi bahan renungan baginya bahwa situasi dan kegelisahannya ini menjadi cukup urgent untuk ditilik kembali. Lewat Sanggar Anak Akar, ia mendampingi anak muda untuk merefleksikan tujuan hidup. “Saya mengamini apa yang anak muda rumuskan, saya mendukung anak muda untuk melakukan sesuatu hal yang sesuai dengan tujuan hidupnya,” kata Susilo.
Seperti beberapa anak yang belajar di Sanggar Anak Akar, terdapat beberapa anak muda lulusan sekolah menengah atas (SMA) paket C. “Anak yang mau lanjut musisi, saya dukung walaupun anak tersebut tidak mau kuliah. Ada anak yang mau kuliah, katanya mau mengasah nalar dan masuk ke dunia pemikiran juga saya dukung. Tapi ada tapinya. Saya selalu meminta anak-anak kalau bisa rebut itu yang namanya beasiswa. Ada anak yang kuliah sampai ke Amerika karena bermodalkan karyanya.
Karya anak-anak sanggar ya salah satunya mereka menjadi redaktur di tabloid Niat (salah satu produk karya Sanggar Anak Akar), mereka bersama-sama mengelola media itu. Lalu ada yang magang di radio voice for human right, ya semacam media yang berbicara kemanusiaan, kini ia menjadi bagian dari humas Menko Polhukam. Rata-rata anak perempuan yang melanjutkan kuliah, itu berkat beasiswa,” jelasnya.
Mewartakan Nilai Kebaikan
Bagi Susilo, ia berusaha untuk selalu mewartakan nilai kebaikan berkat dari pengalaman hidupnya berjumpa dengan banyak orang. “Hanya saja saya duluan lahir dari teman-teman yang masih muda dan saya sudah ketemu banyak orang. Saya mendapatkan pengetahuan itu dari orang lain.
Di balik pengalaman itu ada pengetahuan dan makna yang bisa saya ambil. Makna dan pengetahuan itu saya bagikan lagi ke orang lain. Kalau gak ada pengetahuan dan makna, itu namanya bukan pengalaman. Itu namanya peristiwa yang numpang lewat aja,” tegas Susilo.
Susilo mencoba membangkitkan semangat anak muda untuk selalu berpengharapan. Baginya biaya yang paling besar adalah ‘niat’ dan modal anak muda adalah ‘kemauan’. Susilo cukup prihatin dengan anak muda yang frustrasi setelah menyelesaikan sekolah lantas bingung mau ke mana, ia prihatin dengan anak muda yang setelah sekolah langsung menikah seakan-akan seperti sudah tidak punya cita-cita lagi.
Ia berkata bahwa setiap orang yang punya harapan berarti ia masih punya masa depan dan individu yang berpengharapan juga harus mengimplementasikan harapan-harapan tersebut. Menurutnya, belajar tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga dampaknya akan dirasakan oleh keluarga dan juga masyarakat luas. Yang menjadi catatan dari proses pendidikan adalah bagaimana pedagogi kolaborasi dan pedagogi solidaritas berjalan beriringan, sehingga tidak ada individu yang merasa ‘maha’.
“Bisa kalau kita mau, tekun, konsisten, dan gak muluk-muluk,” pesan Susilo dan ia percaya bahwa anak muda mampu berjalan sekaligus membuat jalan.