the Monkey Times – “Kalau bisa yang kamu makan adalah yang kamu tanam, yang gak bisa ditanam ya gak dimakan, yang negara kita gak bisa tanam usahakan tidak usah dimakan. Itu sederhana, kalau bisa jangan makan mie instan tapi ya sesekali gak masalah. Yang jadi masalah adalah kalau jadi keseharian mengonsumsi mie tersebut, karena negara kita tidak menghasilkan gandum. Semakin rutin semakin kita ketergantungan dengan negara lain.” – TA Kuncoro
Deril Sbastian dan Muhammad Trio, siswa jurusan desain komunikasi visual (DKV) SMK N 5 Bengkulu kini sedang melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di Desa Minggir, Sleman, Yogyakarta. Trio dan Deril telah melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua bulan.
Jika sekolah hanya menjadi lembaga pendidikan normatif, maka kegiatan PKL yang mereka jalani hari ini membuat mereka sadar bahwa sekolah tidak mengajarkan life skill dan PKL tidak melulu harus mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterampilan hard skill namun menjadi penting juga untuk belajar soft skill. TA Kuncoro, menjadi orang tua bagi mereka selama belajar di Yogyakarta dan dibantu oleh mentor Orca Academy, membuat proses pembelajaran mereka menjadi balance karena pembelajaran hard skill dan soft skill berjalan beriringan.
Deril dan Trio cukup kaget karena mereka berekspektasi selama dua setengah bulan akan tinggal di kos-kosan kota Yogyakarta dan mengerjakan hal-hal teknis di industri media. Namun realitanya adalah mereka tinggal di desa yang cukup jauh dari kehidupan urban Yogyakarta.
Kedua murid Bengkulu ini mengaku bahwa segala sesuatu yang mereka kerjakan selama PKL tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kini, kehidupan di Desa Minggir dan segala sesuatu yang berkaitan dengan alam menjadi keseharian mereka di tempat tinggal Kuncoro. Berkat pendampingan Kuncoro, Deril dan Trio memiliki pola hidup yang lebih disiplin. Aktivitas keseharian mulai dari bangun pagi hingga kembali tidur menjadi lebih produktif karena banyak hal yang dapat mereka pelajari dan praktikkan.
“Biasanya aku di rumah gak pernah bantuin nenek, nyapu tuh gak pernah apalagi bangun pagi subuh. Makan siang aja harus dipanggil nenek dulu baru aku mau makan. Sepanjang hari aku cuma di kamar aja main hape dan game.”
Deril mengungkapkan selama tinggal di Yogyakarta, ia menyadari bahwa betapa jauh perbandingan pola hidupnya di Desa Minggir dengan di Kota Bengkulu. Remaja yang sedang duduk di kelas 12 tersebut mengatakan bahwa jarang sekali ia bersentuhan langsung dengan pekerjaan domestik.
Baginya pekerjaan domestik ia kerjakan saat neneknya tidak di rumah, namun saat nenek di rumah itu bukan menjadi tanggung jawabnya. Lewat keseharian selama PKL, Deril diajak untuk memiliki kebiasaan baru untuk menumbuhkan serta mengembangkan life skill-nya.
“Di sini aku belajar disiplin soal waktu. Biasanya di rumah kalau bangun pagi itu gak pernah on time, kadang jam enam pagi, kadang jam tujuh atau kadang baru bangun jam sembilan. Tapi di sini aku membiasakan diri untuk bangun jam lima pagi dan mengerjakan hal-hal yang tanpa disuruh orang lain. Jadi di sini aku belajar mempertajam inisiatifku. Awalnya justru aku gak paham arti inisiatif itu apa, tapi ternyata apa yang aku kerjakan atas kesadaranku tanpa disuruh orang lain itu ternyata disebut inisiatif.”
Trio, anak ketiga dari ketiga bersaudara ini menyadari bahwa pentingnya belajar membangun inisiatif. Trio menyatakan bahwa ia memang terbiasa untuk membiasakan diri hidup secara mandiri walaupun ia anak bungsu di keluarganya.
Remaja yang menggemari dunia sepak bola ini mengaku betapa ia sangat bosan dengan kehidupan sekolah normatif sehingga saat ia menjalani kegiatan PKL ia menjadi lebih bersemangat untuk banyak bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar banyak hal tentang life skill. Selama di Yogyakarta ia semakin membiasakan diri untuk selalu disiplin.
Menghidupi Arus Kecil dan Bukan Melawan Arus

Kuncoro selaku orang tua bagi Trio dan Deril adalah pribadi yang memantapkan visi hidupnya sebagai petani. Ia sudah melekat dengan alam dan lingkungan serta segala isu-isu ekologi. “Tinggal di kampung mestinya tahu dan paham sekitar, misal kampungnya mayoritas bertani, ya perkara gede mau jadi apa itu urusan mereka, misal orangtuanya petani kan mesti tahu tentang pertanian walaupun tidak harus menjadi petani.”
Hal ini yang menjadi dasar bagi Deril dan Trio untuk memahami situasi tempat tinggal dan desa yang mereka tempati hari ini. “Aku tidak pernah menyuruh mereka menjadi petani. Setidaknya mereka aware dulu terhadap isu ini dan untuk tidak masa bodoh terhadap isu ekologi karena mereka menjadi bagian dari atmosfer itu. Silakan dari posisi masing-masing kan bisa, tidak harus menjadi petani,” ungkap Kuncoro.
Pola keseharian yang dibangun, membantu Deril dan Trio untuk memahami bahwa isu ini cukup urgent untuk diketahui dan dibahas. Lewat langkah-langkah nyata seperti proses pembuatan tahu toelen (tahu organik), Deril dan Trio diajak untuk mengasah life skill. Mulai membelah kayu untuk persediaan kayu api unggun, menyalakan api unggun, membuat tahu, membantu di taman, hingga memasak menjadi rutinitas yang dibangun dan dipraktikkan secara disiplin.
Kuncoro sudah akrab dengan kehidupan pertanian karena ia terbiasa main ke sawah sejak kecil. Setelah menamatkan pendidikannya, ia mencoba menjadi pelaut dalam waktu setengah tahun di pantura (pantai utara) Pulau Jawa.
Di fase pencarian ini, ia mencoba mencari dan menentukan passion yang akan menjadi misi hidupnya. “Awalnya ke pantura di kampung nelayan, melaut, ngetes awak selama enam bulan, cuma gelandangan gitu aja pengen rasain gimana rasanya jadi kaum marginal. Kalau live-in kan cuma bentar, jadi nyoba melaut setengah tahun habis itu belajar bertani ke Bogor.”
Kesadarannya yang ‘utuh’ terhadap pilihannya membuat ia tidak begitu memedulikan tanggapan orang lain terhadap pilihan hidupnya, termasuk keluarganya yang pada awalnya menentang pilihannya. “Jadi orang desa harus pintar karena stigma yang selama ini muncul kan petani itu bodoh, pekerjaan pilihan terakhir. Hal-hal ini yang membuat citra petani menjadi rendah secara strata sosial.
Padahal secara realita hari ini pun petani menjalani pekerjaannya secara susah. Petani menjadi korban dari tata kelola yang salah.” Yang dilakukan Kuncoro adalah bagaimana menjadi petani sekaligus produsen, karena ia menyadari petani hari ini dominan dikendalikan oleh pasar sehingga petani hanya sebatas nandur dan panen. Perihal harga pangan akan ditentukan oleh pasar. Ia memaknai panggilan hidupnya untuk menghidupi arus kecil dan bukan melawan arus. “Kalau melawan arus aku menjadi orang konyol karena arusnya begitu besar,” ucap Kuncoro.
Menurutnya situasi pendidikan hari ini, anak-anak hanya sebatas mengikuti kurikulum sekolah normatif. Anak muda bisa mengikuti kegiatan-kegiatan di sanggar atau komunitas untuk melengkapi hal-hal yang tidak didapatkan di sekolah.
Oleh karena itu Kuncoro sangat aktif membantu anak-anak muda yang ingin belajar pertanian walaupun ia sendiri memilih untuk tidak menjadi bagian dari sebuah komunitas atau gerakan. Ia lebih memilih menjadi single fighter karena baginya jika ia bergabung di lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau komunitas ia merasa pergerakannya tidak akan taktis.
Ia tidak menolak untuk berkolaborasi dengan banyak lembaga atau komunitas karena ia akan membantu banyak orang untuk mengenali dan belajar pertanian organik. Kuncoro memilih untuk tidak ‘teriak’ namun ia membuktikan bahwa tanpa berteriak pun ia mampu mengeksekusi hal-hal yang lebih real dan berkontribusi kepada alam dan masyarakat.
“Pengaruh arus besar membuat seseorang bingung atau tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Itu cukup menyedihkan apalagi anak muda, kebanyakan termakan arus besar. Semua anak muda mengalami kebingungan saat memilih jalan, harus mempertimbangkan orang tua/relasinya dan banyak pertimbangan lain.
Pilihan tetap ada di tangan kita karena yang bertanggung jawab kan masing-masing. Temukan dulu misi hidupmu. Dunia hari ini kan dipenuhi oleh gerombolan orang yang bingung terhadap situasi. Ketika orang tidak memilih jalannya, pasti akan bosan dan burnout karena itu misi jiwa harus ada. Ketika misi jiwa itu ada kamu terhuyung pun tidak akan mengaduh. Meskipun terasa berat tapi kamu akan merasa fight, tidak menjadikan itu sebagai sebuah beban, dan harus dijalani.”