the Monkey Times – Beberapa bulan lalu saya membeli sebuah jam pintar. Mereknya Xiaomi, dengan tipe Mi Band 5. Saya membelinya dengan alasan sepele: benda itu lucu, kecil, dan jelas muat di pergelangan tangan saya yang kerempeng.
Tapi diatas semua itu, saya adalah maniak jam tangan, meski bukan tipikal seorang maniak yang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk jam tangan mahal. Mungkin lebih tepat kalau saya adalah tipe individu yang suka memakai jam tangan.
Saya membutuhkannya pertama-tama bukan untuk membantu mengawasi waktu, namun lebih ke fungsi jam tangan sebagai item penambah gaya – walau toh nyatanya gaya saya biasa-biasa saja kaya’ orang kebanyakan.
Kita mungkin harus menaruh hormat pada penemu jam pintar aka smartwatch yang bisa dihubungkan dengan ponsel pintar yang kita punya. Berkat jam pintar hidup kita lebih terkontrol. Kita, misalnya, tahu berapa langkah kita berjalan dalam sehari, hanya dengan memakai jam pintar di pergelangan tangan.
Kita tahu bagaimana keadaan cuaca hari ini (tanpa harus melihat hp). Kita bisa mengukur jumlah detak jantung per menit, dan pada gilirannya fitur itu membantu kita menimbang apakah kita sehat atau tidak. Pendek kata, fungsionalitas jam tangan biasa diperluas dengan memberi embel-embel ‘pintar’ di belakang kata ‘jam’.
Jam pintar yang saya beli terbilang “murah”. Di bawah lima ratus ribu rupiah. Meski nyatanya harganya lebih mahal ketimbang jam SKmei KW yang saya beli di sebuah situs ecommerce beberapa tahun silam.
Dan saya sungguh cinta pada jam pintar yang saya kenakan nyaris setiap hari. Layarnya mati kalau kita menggantung tangan, dan akan hidup, kemudian menunjukkan waktu ketika kita mengangkat pergelangan tangan.
Tapi selain itu, sungguh saya nyaris tidak menemukan arti memakai jam pintar macam Mi Band 5, selain saya tahu bahwa yang saya pakai adalah benda yang melampaui fungsionalitas jam biasa.
Bila terhubung dengan ponsel pintar milik saya, beberapa aplikasi yang terpasang di hp bisa meneruskan notifikasi ke jam pintar itu. Jadi saya bisa tahu ketika ada pesan WA masuk, atau ketika ada email baru masuk ke kotak surat digital saya.
Maksudnya begini: saya nyaris tidak memanfaatkan kekayaan fitur sebuah jam pintar, selain di luar fungsi utamanya sebagai penunjuk waktu dan benda yang memberi tahu ketika ada pesan masuk ke hp saya.
Saya, misalnya, tidak pernah memakainya untuk mengukur apakah saya mengalami stress atau tidak (omong-omong, Mi Band memang punya fitur tersebut)
Karena itu pula saya tidak pernah memanfaatkan fitur-fitur lain untuk mengukur diri saya. Misalnya: saya tidak pernah memanfaatkan fitur pengukur irama detak jantung sebagai acuan dasar untuk menilai jantung saya sehat atau tidak.
Lalu saya nyaris tidak pernah mengeksplorasi Mi Band 5 saya bisa melakukan apa saja, selain membantu menghitung jumlah langkah harian, menghitung jumlah detak jantung, atau membantu saya mengetahui kondisi cuaca di lokasi yang sedang saya kunjungi.
Jadi jam pintar yang saya beli waktu itu sungguh cuma pemanis gaya belaka. Ukurannya yang kecil pas di pergelangan tangan saya yang mungil. Saya menyukainya stripe-nya yang terbuat dari karet dan sepertinya tidak mudah lapuk dimakan usia. Saya suka sering-sering mengangkat tangan karena merasa penunjuk waktu di atas layar Mi Band 5 milik saya sangat enak dipandang mata.
Sederhananya: ternyata jam pintar yang saya beli di bawah lima ratus ribu rupiah tidak lantas membuat saya pintar. Malah benda itu lebih pintar dari saya, sebab saya tidak bisa mengukur detak jantung sendiri!