the Monkey Times – Ketika pertama kali datang ke Jogja pada 2000-an, salah satu dari sekian banyak hal yang membuat saya jatuh cinta adalah album musik yang dijual di toko dalam bentuk kaset tape. Walau sekarang bisnis kaset sudah mati terganti oleh layanan streaming musik, kaset selalu ada di ingatan.
Tapi terlebih dulu saya mau membuat pengakuan: saya bukanlah seorang kolektor kaset. Syahdan di awal tahun 2000-an, sebuah toko kaset berdiri di bilangan Terban, Yogyakarta, persis di sebelah swalayan Mirota. Saya lupa nama tokonya.
Tapi yang tetap saya ingat: saya sering menghabiskan beberapa bagian uang jajan bulanan di sana. Saya masih ingat betul album metal pertama yang saya beli di situ. Judulnya Significant Other yang dirilis Limp Bizkit pada 22 Juni 1999.
Bisnis kaset sudah mati, tapi tidak di AS
Di Indonesia sulit buat kita menemukan penjual kaset keluaran musisi baru. Meski di saat bersamaan masih ada orang-orang yang menjual kaset lewat Instagram atau platform media sosial lainnya.
Label rekaman di Indonesia pun rasanya jarang merilis kaset, berbanding lurus dengan surutnya label rekaman besar. Situs Supermusic.id mencatat nama Remaco, Aquarius Musikindo, FFWD Records, Aksara Records, dan Rottrevore Records. Kelimanya sekarang sudah mati.
Paling-paling kalau mau menyebut label rekaman yang masih eksis di Indonesia ini sepertinya tinggal Musica Studio sebagai satu-satunya yang tersisa.
Jadi sepertinya, merilis musik dalam bentuk fisik tidak lagi menjanjikan keuntungan kapital yang besar bagi label rekaman.
Apalagi di zaman serba streaming seperti sekarang.
Tapi tidak demikian yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Sejak 2015 sampai 2018, tren penjualan kaset justru menunjukkan angka peningkatan. Setidaknya ini menurut statistik yang dirilis Statista.
Tahun 2015, jumlah kaset terjual sebanyak 74,000 kopi di AS. Angka ini kemudian merangkak naik di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2016 jumlah kaset yang terjual sebanyak 129,000 kopi. Kemudian berturut-turut pada 2017 dan 2018, jumlah kaset yang terjual masing-masing sebanyak 178,000 dan 219,000 kopi kaset.
Washington Times mencatat penjualan kaset di AS menyumbang satu persen dari penjualan rekaman musik di AS yang mencapai 141 juta kopi pada 2018 di seluruh medium.
Dengan angka penjualan kaset tape yang besar, medium satu itu berhasil menempatkan dirinya di belakang layanan musik streaming, digital downloads, dan penjualan CD musik.
Dan inilah daftar 5 besar kaset paling laris di Amerika Serikat pada 2018:
- Guardians of the Galaxy: Awesome Mix Vol. 1
- Guardians of the Galaxy: Awesome Mix Vol. 2
- Trench (Twenty One Pilots)
- Stranger Things soundtrack
- Baby One More Time re-released (Britney Spears)
Gus Dur di sebuah toko musik
Kemarin malam (25/09), saya membuka laman Facebook. Sembari menyortir linimasa akun media sosial saya itu, seorang teman mengunggah sebuah foto menarik: Gus Dur di sebuah toko musik.
Saya sempat menelusuri jejak digital gambar tersebut, tapi gagal menemukan darimana sumber aslinya. Satu-satunya petunjuk yang saya dapatkan adalah gambar Gus Dur di toko kaset itu dimuat di sebuah tulisan yang diunggah blog Purnomo Iman Santoso.
Tahun 2000 sampai 2003, saya masih sering menyempatkan diri menyambangi toko kaset. Menghabiskan puluhan ribu rupiah di dalam kantong untuk membeli rekaman fisik yang mungkin sekarang tidak ada harganya lagi.
Tapi di toko kaset itulah kita mengakrabi sebuah metode yang waktu itu umum digunakan untuk memperkenalkan produk musik ke telinga pendengarnya. Di setiap toko kaset selalu ada sebuah ruang kecil, tempat dimana pemiliknya memasang meja dengan alat pemutar kaset lengkap dengan aksesori headphone di atasnya.
Dengan alat itu calon pembeli bisa menimbang apakah album yang mau dibeli sudah pas sama seleranya atau belum. Jelek bagusnya sebuah album ditentukan dari bagaimana setiap pembeli menilai album yang menarik perhatiannya.
Baca Juga: Perbedaan Album Musik Fisik dan Digital
Ruang itu jadi semacam tester. Orang bisa menghabiskan beberapa menit menyimak nomor demi nomor dari sebuah album yang dia ambil dari rak kaset. Tak heran bila ruang kecil tester itu sering dipadati para penggemar musik yang kadang berebutan mengantri giliran menyicipi sebuah album.
Pemandangan seperti itu masih jamak sampai awal 2000-an. Namun tidak bisa kita temukan sekarang. Di Indonesia, bisnis kaset mati total. Tapi di belahan bumi lainnya, bisnis itu masih hidup.