the Monkey Times – Taktik perang gerilya yang dilakukan oleh Jenderal Soedirman pada masa penjajahan Belanda bukanlah hal yang asing.
Buku pelajaran sekolah di Indonesia menceritakan dengan baik ihwal sang Jenderal dan betapa patriotiknya dia ketika memimpin pasukan berperang gerilya walaupun dalam keadaan sakit parah. Dan Setiap perang gerilya tentu menyimpan cerita tersendiri.
Syahdan, Soedirman mulai bergerak dari Yogyakarta ke Kediri pada 19 Desember 1948. Dalam laporan Kisah Gerilya Jenderal Soedirman yang disusun Pusat Data dan Analisis Tempo, Soedirman singgah di rumah bercat putih di Jalan M.H Thamrin 54.
Di rumah itulah sang jenderal, bersama dengan Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Soengkono, mematangkan strategi perang gerilya.
Kita semua sama-sama tahu kelak perang gerilya yang dilakukan Jenderal Soedirman beserta pasukannya dikenang sebagai sebagai salah satu epos heroik dalam babakan sejarah Indonesia.
Sebagaimana semua tokoh besar yang pernah menghiasi halaman sejarah Indonesia, Jenderal Soedirman punya kisah pribadinya sendiri.
Dari Kepala Kwartir ke Sosok Seorang Jenderal
Jenderal Besar Raden Soedirman lahir di Purbalingga, Hindia Belanda, tepatnya di Bodas, Karangjati 24 Januari 1916 dari ayah bernama Karsid Kartawiuraji dan ibu bernama Siyem.
Lelaki yang lahir dari kalangan rakyat biasa ini menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah itu Soedirman muda melanjutkan pendidikan ke Taman Siswa meski tidak sampai menamatkan sekolahnya disini.
Alasannya karena Taman Siswa di zaman kolonial sempat dianggap sekolah liar oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.Dari Taman Siswa, Soedirman muda melanjutkan pendidikan di sekolah guru HIK Muhammadiyah Wirotomo, Surakarta.
Disinilah dia ikut menginisiasi pendirian Hizbul Wathan – semacam organisasi kepanduan – milik Muhammadiyah. Babakan kehidupan Soedirman muda berlanjut ketika Soedirman mengajar di HIS Muhammadiyah cabang Cilacap.
Kiprah Soedirman muda di Hizbul Wathan cukup mentereng. Dalam Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir yang disusun Tim Buku Tempo, Soedirman di usianya yang menginjak 17 tahun sempat menempati posisi Menteri Daerah Hizbul Wathan Banyumas.
Kalau dibahasakan dengan cara sekarang, posisi itu setingkat dengan ketua kwartir daerah. Sebagai ketua kwartir, otomatis Soedirman menguasai daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.
Di Dunia Militer
Karir Soedirman di dunia militer dimulai ketika dia memasuki pendidikan tentara Pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Itu terjadi pada 1943, ketika pendudukan Jepang di Indonesia baru berumur setahun.
Begitu selesai dengan pendidikan PETA di Bogor, Soedirman langsung bertugas di di Kroya sebagai komandan batalyon.
Soedirman dengan cepat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas, segera setelah Tentara Keamanan Rakyat dibentuk pada 5 Oktober 1945. Gerak karirnya sebagai pemimpin besar tentara Indonesia dimulai ketika Soedirman akhirnya terpilih sebagai Panglima TNI.
Tetapi dia pun tidak menjalani kisahnya sebagai Jenderal dengan mudah. Mengutip Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir, Soedirman memimpin militer Indonesia dalam kondisi pertentangan yang muncul di antara dua kubu tentara: yang berasal dari Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dan otomatis terdidik dengan cara Belanda, serta yang berasal dari Pembela Tanah Air (PETA) yang secara otomatis terdidik dengan cara Jepang.
Basis Gerilya di Gunung Wilis

1948. Republik Indonesia yang baru berusia muda menghadapi ancaman baru dari sekutu dan Belanda yang ingin mengklaim kembali tanah kolonialnya yang sempat hilang. Belanda masuk ke Indonesia pada 14 Desember 1948.
Lima hari setelahnya pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta dan menangkap Soekarno serta Mohammad Hatta.
Pada 22 Desember 1948, Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memulai taktik perang gerilya.Taktik ini memang membuat perang berlangsung lebih lama, sebab dilakukan dengan cara berperang secara sembunyi-sembunyi. Dan gongnya diakhiri dengan serangan tiba-tiba.
Perjalanan pun dilakukan dengan sangat hati hati dan penuh dengan strategi. Hal ini dikarenakan pihak Belanda memiliki banyak sekali saksi mata maupun intel yang memata matai keberadaan dari Jenderal Soedirman.
Sebelum menuju ke Kretek Bantul dan Imogiri di wilayah Yogyakarta, Soedirman membakar semua dokumen penting. Setelah itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju Gunung Kidul hingga ke Wonogiri.
Kala itu, Jenderal Soedirman sendiri tengah mengidap penyakit yakni tuberkulosis atau TBC. Akan tetapi, Belanda terus menerus melakukan serangan melalui udara.
Pada akhirnya Jenderal Soedirman bersama dokter pribadinya yakni dokter Suwondo dan juga beberapa orang lain memutuskan untuk meninggalkan kediamannya.
Tak hanya sampai disitu saja, perjalanan pun terus dilanjutkan sampai ke Jawa Timur hingga ke lereng Gunung Wilis. Selama perjalanan terjadi penggeledahan yang dilakukan oleh pihak Belanda.
Sehingga rombongan yang sedang bergerilya masuk menuju ke Hutan Sedayu dan Sawahan. Selama taktik gerilya tersebut, Jenderal Soedirman menggunakan nama samaran yakni Pakdhe Abdullah Lelana Putra.
Dalam kondisi Gerilya, TNI memang memusatkan daerah perang di wilayah pegunungan. Buku Kisah Gerilya Jenderal Soedirman menyebut sebagian besar pasukan TNI di wilayah Jawa Timur membangun kekuatannya di Gunung Kombang dan Gunung Wilis.
Soedirman bersama pasukannya menempuh rute gerilya melewati Klaten kemudian menuju perbatasan Wonogiri.
Perjalanan gerilya terus berlanjut. “Lewat jalur selatan melewati, Bantul, Gunungkidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ponorogo, Karanganyar, Sukoharjo, Surakarta, Klaten,” seperti tertulis di Koran Bernas.
Momen Puncak Gerilya
Strategi dengan menggunakan taktik gerilya akhirnya mencapai puncaknya pada serangan umum 1 Maret 1949. Kala itu terjadi serangan besar-besaran yang dilakukan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III / GM III.
Serangan itu sekaligus membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekuatan militer yang cukup tangguh, sekaligus mengumumkan kepada dunia internasional bahwa Republik masih berdiri.
Baca Juga: Biografi Jenderal Soedirman: Hidup Mati di Medan Perang Kemerdekaan
Kemudian pasukan gerilya tetap melanjutkan perjalanan hingga menemukan lokasi yang aman untuk berlindung. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya pasukan dari Jenderal Soedirman tersebut menetap di daerah Dukuh Saba, Desa Pakis, Nawangan, Pacitan pada bulan April hingga bulan Juli 1949. Jenderal Soedirman pun menjadikan Rumah Karso Sumito menjadi markas komando.
Di rumah itulah Jenderal Soedirman melakukan sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Dia melakukan itu dalam kondisi kota Yogyakarta yang kembali kondusif di bulan Juni 1949, dimana pasukan dan para pemimpin bangsa yang ditawan Belanda mulai kembali dari pengasingan sekitar bulan Juli 1949.
Penulis: Kukuh Hilmawan Putra | Editor: M. Hadid