the Monkey Times – Mengulas biografi Tuanku Imam Bonjol memang selalu menarik. Muhammad Shahab, tokoh ulama Islam yang lahir di Bonjol pada tanggal 1 Januari tahun 1772 akhir abad 18. Merupakan putra yang lahir dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (Ibu).
Muhammad Shahab mengikuti jejak ayahnya dan sewaktu remaja belajar agama di Aceh kemudian disana menyandang gelar Malin Basa.
Ayahnya Khatib Bayanuddin merupakan seorang alim ulama yang berasal dari sungai Rimbang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Kemudian melalui perjalanannya sebagai tokoh alim ulama dan pemimpin masyarakat setempat diperoleh beberapa gelar yang disandang nya dari Peto Syarif, Malin Basa hingga Tuanku Imam Bonjol.
Salah seorang ulama besar nan arif Tuanku Nan Tuo mempunyai murid dari Kamang yaitu Tuanku nan Renceh pemimpin dari Harimau nan Salapan (sekelompok orang berjumlah delapan yang mempunyai tindakan – tindakan keras seperti Harimau) menunjuk Muhammad Shahab menjadi Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Ia akhirnya sampai sekarang lebih dikenal masyarakat luas dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perang Kaum Padri dan Kaum Adat
Di Akhir abad 18 sebelum kedatangan pemerintah Hindia – Belanda ke Tilatang, Kamang, keadaan masyarakat Tilatang Kamang Kabupaten Agam, sangat melestarikan akan adat istiadat yang diturunkan oleh para nenek moyang terdahulu.
Nilai – nilai adat sangat dipatuhi dan dipertahankan sehingga secara tidak langsung adat mengikat masyarakat dalam berperilaku dan berkehidupan sehari – hari.
Kepatuhan masyarakat terhadap adat istiadat yang ada membuat para Datuk dan Kaum Bangsawan semakin meminjamkan kekuasaannya.
Kuasa Kaum Bangsawan semakin tak terelakkan dan akhirnya banyak para bangsawan melakukan penyimpangan – penyimpangan.
Kaum Bangsawan pun selalu menghabiskan waktunya dengan perbuatan – perbuatan yang penuh dengan berpoya – poya, berjudi, sabung ayam dan sebagainya.
Mereka para bangsawan tidak harus bersusah payah seperti masyarakat dengan menggarap sawah, menjadi buruh kerja mereka hidupnya dijamin dengan harta dan tanah warisan yang diwarisi datuk – datuk mereka terdahulu.
Kemudian keadaan masyarakat semakin hari semakin menyimpang norma – norma agama juga semakin ditinggalkan, tradisi yang digulirkan turun temurun pun seakan sudah mendarah daging dan tidak dapat dipisahkan.
Himbauan para kaum ulama untuk patuh kepada petunjuk serta aturan – aturan yang ada di agama pun dihiraukan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Perang Padri sangat membekas kenangan peristiwa heroik sekaligus menjadi dampak traumatis dalam memori bangsa kita, terutama dalam hal peperangan yang dipicu karena perbedaan agama.
Selama kurang lebih sekitar 18 tahun awal perang (1803 – 1821) dimana yang berperang adalah sesama orang Minang, Mandailing atau Suku Batak pada umumnya.
Awal mula timbulnya peperangan ini didasari oleh keinginan kalangan pemimpin ulama Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlussunnah Wal Jamaah atau identik dengan sebutan Umat Sunni yang berpegang teguh pada Al Quran dan Hadits sunah – sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Para pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta para kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan bid’ah di Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak terjadinya kata sepakat antara Kaum Padri (penyematan nama kepada kaum ulama) dengan Kaum Adat.
Seiring dalam perundingan yang sangat alot di beberapa Nagari Pagaruyung bergejolak, dan kemudian pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batusangkar pada tahun 1815 penyerangan dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari Ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Kaum Adat yang terdesak oleh gerakan Kaum Padri, pada tanggal 21 Februari 1821, secara nomenklatur Kaum Adat resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia – Belanda dalam menanggulangi serta melawan Kaum Padri yang ditandatangani lewat perjanjian di Padang.
Wujud kompensasi yang diperoleh Hindia – belanda adalah mendapat hak akses serta penguasaan wilayah Darek atau yang dikenal dengan Pedalaman Minangkabau.
Perjanjian tersebut dihadiri oleh beberapa sisa – sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Penyerangan Simawang dan Sulit Air menandai bahwa adanya campur tangan dari pemerintah Hindia – Belanda oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah dari atasan Residen James du Puy di Padang.
Namun perlawanan yang diberikan oleh pasukan Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol sangat tangguh setelahnya, sehingga menyulitkan pemerintah Hindia – Belanda untuk menaklukan Kaum Padri.
Selama 18 tahun berperang dari sejak tahun 1803 – 1821, kemudian di tahun 1824 pemerintah Hindia – Belanda merasakan kewalahan mengatasi Kaum Padri sebab di Jawa juga ada peperangan yang diprakarsai oleh Pangeran Diponegoro.
Sehingga banyak dana yang harus dikeluarkan Belanda dan banyak pasukan yang gugus.
Akhirnya melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak Tuanku Imam Bonjol selaku pemimpin Kaum Padri untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang.
Namun perjanjian ini mengalami cedera, perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda, mereka menyerang Nagari Pandai Sikek.
Muncul Kesadaran Bersama Melawan Hindia – Belanda
Pihak – pihak yang semula bertentangan yang disebabkan oleh perbedaan agama, pada tahun 1833 berbalik arah Kaum Adat yang pada awalnya bekerja sama dengan Belanda waktu itu bergabung dengan Kaum Padri muncul kesadaran untuk melawan Belanda.
Dalam buku Memorie Tuanku Imam Bonjol sumber dari orang – orang pribumi menceritakan juga bagaimana Kaum Adat dan Kaum Padri bahu – membahu bersatu melawan Belanda.
Dikisahkan dalam buku tersebut rasa penyesalan yang dirasakan oleh Tuanku Imam Bonjol yang menyesal sendiri atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang dan Mandailing serta Suku Batak lainnya. Atas kesadaran bahwa perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama.
Seputar Kontroversi Pahlawan dan Misteri Kematian Tuanku Imam Bonjol di Lotta Minahasa
Tuanku Imam Bonjol diangkat dan diberi penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI nomor 087 / TK / Tahun 1973, pada tanggal 6 November 1973.
Hal tersebut sempat dikritik oleh beberapa orang dengan membuat petisi menggugat gelar Pahlawan Nasional karena Tuanku Imam Bonjol dituduh melanggar HAM dengan menginvasi tanah – tanah Batak selama 1816 – 1833 yang menelan banyak korban hingga jutaan nyawa menghilang.
Buku Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816 – 1833 (2006) juga menyoroti kekejaman Padri dan Buku Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua orang tersebut lahir di tanah Batak, mereka menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak pada umumnya selama serangan pasukan Padri di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya.
Mencuatnya kritisisme terhadap konsep Pahlawan Nasional mengakibatkan munculnya friksi di lapisan bawah masyarakat yang berpotensi memecah belah bangsa.
Tuanku Imam Bonjol meninggal pada tanggal 8 November 1864 di Lotta Minahasa dalam sebuah pengasingan dan pembuangan setelah dirinya ditangkap Belanda.
Kisah meninggalnya sangat menyedihkan, cerita rakyat setempat, Tuanku meninggal di kotak agak gelap.
Tuanku Imam Bonjol hilang dibawa musuh, kepala ditemukan terpisah dari badannya, kemudian dikuburkan di hulu Sungai Rano Tahan di Desa Kali.
Sedangkan menurut catatan Belanda, Tuanku mengalami sakit selama 10 tahun dan meninggal tanggal 12 November 1864