the Monkey Times – Batik Keraton termasuk dalam identitas dan warisan bangsa, kesan eksklusif dan tidak sembarangan orang yang mengenakannya.
Ini memberikan marwah tersendiri terhadap Batik Keraton tersebut. Menjadi bagian keagenan atau busana khusus kerajaan, membuat Batik mempunyai legitimasi-nya tersendiri.
Hal tersebut menjadikan sebagian motif batik tidak boleh sembarangan dikenakan oleh masyarakat pada umumnya.
Karena, ada beberapa motif yang dibuat dan boleh dipakai oleh sultan atau raja bangsawan dalam Keraton.
Nah, bagaimana perkembangan sejarah Batik? Apa saja beberapa motif larangan yang khusus untuk Sultan atau Raja Keraton? Mari kita bahas.
Menyusuri Sejarah Perjalanan Batik
Batik berasal dari bahasa Jawa yaitu amba artinya adalah menulis dan “titik”, kata Batik sendiri berasal dari corak yang dihasilkan pada bahan “malam”, proses dilakukan untuk menahan masuknya bahan warna dan membentuk pola yang ada.
Jika melihat lebih dalam mengenai perjalanan Batik, hadirnya sudah sejak lama dari perkembangan zaman ke zaman.
Dari adanya Kerajaan Mataram Hindu, datangnya para saudagar, sampai hadirnya Kerajaan Mataram Islam, dan memunculkan Keraton Yogyakarta dan Surakarta, corak dan warna Batik telah lama ada muncul dengan beragam motif hadir di dalamnya. Bahkan, sejak abad ke 17, Batik telah dilukis dan ditulis pada media daun lontar.
Kala itu, motif Batik yang hadir masih dominasi dengan bentuk tanaman dan hewan yang hidup pada masanya.
Tapi, melihat perjalanannya yang begitu panjang, Batik terus mengalami perubahan dengan berbagai motif yang ada.
Kesan abstrak menonjol pada beberapa Batik yang masih bertahan sampai sekarang, mulai dari relief candi, awan, dan wayang.
Dulunya kain putih sebagai media untuk Batik dibuat dari tenunan tangan dan bahan warnanya pun tidak lepas dari unsur alami yang didapatkan dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia.
Perjalanan Batik terus berkembang dan menjadi identitas bangsa yang tetap harus dijaga dan perlu terus di kenalkan ke ranah internasional.
Perjalanan Sang Raja, Mengilhami Kemunculan Batik Keraton
Jika melihat perjalanan Motif Batik Keraton, tidak lepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati.
Ketika pindah dari Demak ke Mataram, sang raja sering berkunjung ke pesisir Pulau Jawa. Kunjungannya dari Parangkusumo menuju Parang Gupito, dan muncul ke “pereng” atau bukit berbaris.
Karena, raja termasuk orang yang menguasai seni, beberapa tempat yang ia kunjungi memberikan inspirasi kepadanya untuk menciptakan pola batik yang berbeda.
Menelusuri Motif Larangan Batik Keraton
Hadirnya pola batik lereng atau parang, termasuk dalam ciri ageman (pakaian) Mataram. Atas dasar penemuan tersebut, para keturunannya hanya meminta pola-pola parang khusus keraton saja.
Alhasil, saat ini ada beberapa motif yang dilarang oleh Keraton. Larangan motif sendiri dicanangkan semenjak Sultan Hamengku Buwono I tahun 1785.
Pola batik larangan, diantaranya Parang Rusak Barong, Parang Klithik, Parang Rusak Gendreh, Semen Gedhe, dan masih banyak jenis motif larangan lainnya.
Batik Keraton memang mempunyai ciri khas tersendiri, bahan dasar putih, pemilihan warna yang mencolok dan bersih, serta pola geometrinya menjadikan Batik kasultanan Yogyakarta begitu khas dan besar, sehingga sekarang pun Batik Keraton tetap menjadi kiblat untuk perkembangan batik seluruh Indonesia.
Batik Motif Huk, Simbol Sang Raja dan Putra Mahkota
Perpaduan kerang, tumbuhan, cakra, burung, garuda, binatang, dan swat termasuk dalam bagian motif khusus.
Karena, setiap goresan yang ada memberikan beberapa pemikiran yang mendalam. Kerang menggambarkan tentang kelapangan hati, sawat sebagai simbol ketabahan dan kesabaran, binatang tentang watak sentosa, dan tumbuhan bagian dari kemakmuran.
Motif ini sebagai lambang mengenai seorang pemimpin yang berbudi luhur, memberikan kemakmuran, cerdas, dan tabah menjalankan amanat yang diberikannya. Oleh karena itu, motif hanya khusus dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Batik Motif Kawung, Memberikan Manfaat Untuk Sekitar
Pola berbentuk geometris dengan empat elips yang berfokus dalam satu pusat, memberikan makna budaya Jawa tentang “keblat papat lima pancer”.
Hal ini sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin. Bahkan, ada juga beberapa pendapat kawung menggambarkan kembang lotus yang sedang mekar.
Masih ada banyak tafsiran terhadap Batik Kawung, tapi apapun itu harapan hadirnya batik ini sebagai pemberi manfaat untuk lingkungan sekitarnya. Sehingga, hanya dikenakan oleh Sentana Dalem.
Motif Parang, Formal dan Ceremonial
Sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengembang tahta (1921-1923), batik motif parang larangan yang sangat ditekankan.
Karena, penggunanya sangat khusus dan beberapa polanya pun benar-benar diatur sedemikian rupa, sehingga lambang atau simbol yang hadir memberikan pemaknaan tersendiri.
Baik dari pola, ukuran batik, dan ketentuan motif parang yang khusus mengenakannya tidak sembarangan orang, semuanya tercantum dalam beberapa aturan Keraton Yogyakarta.
Jika kamu ingin lebih mengenal tentang Batik Keraton, mungkin bisa berkunjung Museum Batik Keraton yang menyediakan beberapa koleksi dan lebih jauh mengenal sejarah Batik Keraton tersebut secara lebih lengkap.