the Monkey Times – Kalau kamu ditanya situs manusia purba nusantara yang telah mendapat sertifikat Heritage of the World dari UNESCO, maka jawabannya sudah pasti adalah: Sangiran.
Kawasan seluas 5,600 hektar itu ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai kawasan budaya yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 70 tahun 1977 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Secara umum Sangiran juga dikenal sebagai kawasan dimana para ahli arkeologi bisa mempelajari evolusi manusia selama era Pleistocene. Dulu ceritanya ada ritus penggalian arkeologis yang dilakukan sepanjang 1936 sampai 1941, yang kemudian menuntun pada penemuan fosil hominid pertama di lokasi tersebut.
Sebagai informasi tambahan, ‘hominid’ adalah sebuah istilah yang merujuk pada keluarga primata (hominidae) dimana manusia dan fosil nenek moyangnya dikategorikan.
Menurut catatan UNESCO, Sangiran menyimpan 50 fosil Pithecanthropus erectus/Homo erectus dan Meganthropus palaeo yang ditemukan sepanjang periode penggalian pada 1936 sampai 1941. Jumlah penemuan itu kemudian membuat Sangiran dikenal juga sebagai tempat dimana separuh dari fosil hominid dunia berada.
UNESCO juga yang melabeli Sangiran sebagai salah satu situs kunci untuk memahami evolusi manusia dari waktu ke waktu. Dalam catatan yang sama UNESCO juga menyebut kawasan Sangiran sempat didiami nenek moyang manusia modern, kira-kira satu setengah juta tahun silam.
Bagaimana situs Sangiran ditemukan
Walaupun penggalian yang intensif dilakukan selama 1936 hingga 1941, sejarah penemuan Sangiran sebagai situs purbakala merentang jauh sebelum periode tersebut.
Buku berjudul Sangiran: Man, Culture, and Environment in Pleistocene Times (hlm. 8) yang disunting oleh oleh Truman Simanjuntak, Bagyo Prasetyo dan Retno Handini menyebut nama Eugene Dubois sebagai orang pertama yang mengunjungi Sangiran. Dan itu terjadi pada musim panas 1893.
Sangiran pertama kali ditemukan – atau lebih tepatnya dijelajahi – oleh Eugene Dubois. Orang ini adalah seorang paleo-antropolog dan ahli geologi – jugalah yang tercatat sebagai orang yang menemukan fosil Pithecanthropus erectus di Trinil, beberapa tahun sebelum dia datang ke Sangiran. Hanya saja situs Sangiran jauh dari perhatian para arkeolog, bahkan setelah Dubois datang kesana.
Nama situs itu mulai ramai diperbincangkan setelah seorang paleontologis muda yang bekerja untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, G.H.Ralph von Koenigswald, menginjakkan kaki di tanah tersebut pada 1934. Konon ceritanya dia tertarik kepada serpihan yang berserakan di permukaan bukit Ngebung yang terletak di Barat Laut Kubah Sangiran.
von Koenigswald yang tertarik kepada serpihan tersebut kemudian melakukan penggalian. Hasilnya adalah temuan lain, sebuah fosil hewan Trinil yang diberi nama ilmiah Axis lydekkeri. Nama ini merujuk pada sejenis rusa zaman prasejarah, yang fosilnya banyak ditemukan di Sangiran.
Temuan itu, serta serpihan-serpihan yang tersebar di bukit tersebut, membuat von Koenigswald berkesimpulan bahwa mereka adalah sisa-sisa perkakas batu era Pleistocene tengah yang digunakan Homo erectus, manusia purba yang hidup di zaman Pleistocene atau sekitar 2 juta tahun lalu. Hanya saja temuan van Koenigswald waktu itu disanggah oleh ilmuwan lain yang beranggapan benda-benda temuannya berasal dari era yang lebih muda.
Dihuni selama satu setengah juta tahun terakhir, Sangiran adalah salah satu situs kunci untuk memahami evolusi manusia. Sejak van Koeigswald tertarik dengan berbagai jenis perkakas batu yang ditemukannya, kawasan Sangiran terus menerus digali dari sana, yang hasilnya kemudian disimpan di Museum Sangiran.
Benda-benda itu jadi sisa yang dipakai sebagai bahan kajian untuk membayangkan kehidupan manusia jutaan tahun yang lalu, bahkan sejak bumi nusantara belum dikenal.