the Monkey Times – Tahun 1980 an boso walikan (bahasa kebalikan) sempat menjadi bahasa gaul di Yogyakarta.
Berbagai kosa kata bahasa walikan Jogja masih terus eksis hingga sekarang, bahkan terus menjadi identitas menarik yang sering digunakan oleh anak muda kota gudeg tersebut.
Salah satunya yang biasa kamu dengar kata “dab” yang berarti “mas” dalam bahasa Jogja trendinya.
Kata-kata ini mungkin jarang kamu dengar dan sulit ditemukan dalam percakapan sehari-hari di beberapa kota lainnya.
Ungkapan “piye dab, apek to kabare?” selalu menjadi bahasa keakraban yang sudah lama terbentuk.
Nah, apa saja fakta menarik dari boso walikan tersebut? Bagaimana sejarahnya? Simak yuk penjelasan lengkapnya.
Sejarah Bahasa Gaul Jogja (Walikan)
Melihat dari perjalanan sejarahnya, boso walikan ini memang sempat terkenal dan menjadi bahasa keseharian kaum muda sekitar tahun 1980 hingga 1990 an.
Bahkan, menurut sumber dari Lembaga Program Keistimewaan DIY, pernah mengungkapkan apabila boso walikan sudah ditemukan sejak adanya penjajahan di Indonesia.
Kebutuhannya zaman dulu sebagai bahasa enkripsi untuk mengecoh lawan atau kata sandi tertentu agar tidak diketahui oleh musuh.
Masuk zaman orde baru pun boso walikan masih terus digunakan, khususnya untuk para preman.
Tujuannya supaya pemerintah tidak akan mengetahui maksud dan gerak geriknya, sehingga koordinasi tetap berjalan.
Perkembangannya pun hingga sekarang masih tetap digunakan, tapi memang kebutuhannya sudah beda dan menjadi bahasa keakraban.
Salah satunya yang paling banyak digunakan kata “dab” artinya sebagai mas. Tentunya jika kamu sudah lama di Jogja pasti akan sering menggunakannya dan masuk dalam bahasa yang semakin seru untuk berkomunikasi.
Ada Pakem Rumus yang Mengatur
Sebenarnya boso walikan sendiri tidak hanya ditemukan di Jogja saja, kota lainnya yang sering menggunakannya juga adalah Kota Malang.
Namun, dalam pengaplikasian dan ketentuannya sama sekali sangat berbeda. Di Malang sendiri, boso walikannya langsung dari kata awal dan langsung diubah menjadi kebalikannya.
Misalnya, kata “arek” menjadi “kera”, “malang” menjadi “ngalam”, “makan” menjadi “nakam”, semuanya langsung dibalik begitu saja.
Sedangkan, untuk boso walikan dari Jogja itu mempunyai pakem rumusnya sendiri, hal ini dapat dilihat dari proses penggunaan dan ketentuannya menggunakan Aksara Jawa bukan dari huruf alfabet langsung.
Untuk kamu yang belum tahu mengenai Aksara Jawa, jumlahnya terdiri dari 20 aksara yang semuanya disusun berdasarkan empat baris dan masing-masing terdapat lima aksara. Urutannya yang bisa kamu lihat dan pahami, seperti ini,
Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Wa La
Pa Dha Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga
Nah, beberapa boso walikannya harus mengacu dan melihat dari aksara jawa tersebut, sehingga terdapat rumus atau pakemnya sendiri.
Salah satunya kamu bisa melihat kata “matamu” dan menjadi “dagadu”. Proses ini dilihat dari tahapan-tahapan yang ada pada Aksara Jawa tersebut.
Penjelasannya kata “ma” diganti menjadi “da” pada baris kedua, lalu “ta” diganti dengan “ga” pada baris keempat, terakhir kata “mu” diganti dengan kata “du”, jika kamu perhatikan vokalnya akan ke bentuk “dagadu”
Bahasa dagadu ini termasuk bagian dari boso walikan yang gaul dan funky, lalu juga menjadi ikon buah tangan untuk kaos-kaos menarik dan unik khas Yogyakarta.
Tidak hanya itu saja, boso walikan ini juga menarik kata bukan langsung dari satu kalimat penuh, namun hanya digunakan pada beberapa potongan saja, sehingga membuat jauh lebih menarik.
Tidak Hanya Kata Walikan Saja, Tapi Terdapat Singkatan
Sebenarnya ada banyak beberapa kata walikan yang bisa kamu coba, seperti nyothe (kowe/kamu), pabu (Asu/Anjing), Lodse (ngombe/minum), dan masih banyak kosa kata lainnya.
Tapi, ternyata bahasa khas Jogja itu sendiri tidak serta merta berasal dari Boso Walikan semuanya, karena ada juga didapatkan dari singkatan.
Hal ini bisa kamu lihat dari gabungan dua kata dan menjadi kosakata baru, untuk lebih menghemat dan memperpendek ucapannya, maka kesannya akan baru dan unik.
Salah satunya yang sering juga kamu dengar sapaan “ndes” berasal dari kata “ndeso” berarti kampungan, misal “arep neng ngendi, ndes?” kata-kata ini mungkin sering kamu temukan.
Bukan hanya itu saja, kata Gondes pun berasal dari dua kata yang ada dan digabungkan atau disingkat yang terkesan baru, makna gondes sendiri adalah gondrong ndeso yang berarti cowok yang rambutnya gondrong tanggung atau bisa juga dianggap sebagai kampungan.
Kata ini sama juga untuk cewek dikenal sebagai “Mendes” atau “Mentel Ndeso” yang artinya sama.
Belum lagi beberapa kata yang jarang kamu dengar, seperti “Mukri” atau “Munyuk Kriting” yang menggambarkan untuk mengejek orang-orang yang mempunyai rambut keriting.
Bagaimana tertarik lebih jauh mempelajari bahasa Jogja walikan? Sebenarnya masih ada banyak berbagai kosa kata menarik yang bisa kamu temukan.