the Monkey Times – Siapa yang pernah berpikir membeli siomay sebelum waktu berbuka tiba, untuk kemudian disantap pas waktu iftar tiba? Atau … siapa yang suka ide bahwa berbuka bukan hanya menyantap tiga biji kurma dan segelas air putih? Lalu apa pula itu Siomay Kang Is.
Tapi saya sebetulnya tidak hendak menentang ide berbuka dengan air putih dan tiga biji kurma. Lagipula, ada banyak riwayat yang menceritakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang berbuka dengan menu tersebut. Jadi mana mungkin saya menentang perilaku junjungan yang saya cintai.
Suatu sore di bulan puasa saya melewati Jalan Magelang dalam perjalanan pulang dari kantor. Saya melajukan motor ke arah selatan dari perempatan Ring Road Utara (Jombor). Lima ratus meter dari sana, menjelang perempatan Selokan Mataram, di lajur seberang tidak sengaja saya menatap sebuah plang warung siomay.
‘Siomay Kang Is 1512’, demikian yang tertulis disana. Sontak pikiran saya buyar oleh bayangan salah satu makanan favorit satu itu. Kaya’nya juga nggak ada salahnya berbuka dengan siomay, mengingat menu berbuka puasa yang sering saya makan sebetulnya itu-itu saja. Kalau nggak gorengan plus es teh, yha langsung makan besar.
Siomay Kang Is: menyembul di tengah keramaian
Sore di warung Kang Is tidak terlalu ramai. Hanya ada saya dan empat orang pengunjung. Warung siomay itu terhimpi di tengah deret toko-toko di kanan kiri yang menjual pernak-pernik kebutuhan manusia zaman kiwari: mulai dari pulsa sampai hape.
Saya memesan tiga biji siomay, satu butir kentang plus telur rebus. Harga per item bahan siomay sekitar Rp3,000-an.
“Minumnya, mas?”
“Air es saja,” kataku merespon pertanyaan mamang penjual.
Oh ya, pada dasarnya saya adalah penggemar siomay. Tapi rasanya dari sekian banyak warung siomay enak di Jogja yang sudah pernah saya singgahi, belum pernah ada yang benar-benar memuaskan lidah.
Siomay telkom, misalnya. Sambal kacangnya terasa terlalu padat untuk lidah saya. Dan siomaynya pun terlalu alot untuk saya gigit. Siomay Kang Ujang di Jalan Kaliurang pun sama: sambal kacangnya terlalu padat untuk selera saya.
Siomay di seberang jalan di sebelah Utara Kampus Pascasarjana Sanata Dharma lumayan. Sambal kacangnya tidak terlalu padat, tapi juga tidak terlalu cair. Pas.
Lagipula, saya suka karena pemiliknya menjual siomay dengan komposisi ikan tenggiri yang lebih banyak dibanding kanji.
Saya tidak bilang kalau ketiganya tidak enak. Hanya saja lidah saya memang cenderung lebih menyukai siomay dengan sambal kacang yang teksturnya tak terlalu padat, tapi juga tak terlalu cair. Plus, kalau siomaynya mudah dikunyah, maka bakal dipastikan saya akan jatuh cinta.
Begini saya membayangkan tentang siomay enak
Siapapun rasanya sudah akrab dengan kuah kacang. Mulai dari nasi pecel, sate, siomay, gado-gado, lotek, batagor, sampai ketoprak dan sejenisnya, semua jenis makanan itu menyandingkan kuah kacang yang disiram di atas berbagai macam bahan makanan berbeda.
Yang mau saya katakan sebetulnya sederhana: saus kacang identik dengan kultur makan-memakan kita. Kita dengan mudah menemukan saus jenis itu dimana saja; entah itu ketika makan nasi pecel premium di sebuah restoran atau ketika menikmati gado-gado di pinggir jalan.
Tapi bagi saya, enak atau tidaknya sebuah siomay tergantung pada gimana penjualnya meracik kuah kacang dan bagaimana racikan tersebut terasa di lidah. Di titik ini saya cenderung lebih menyukai Siomay Kang Is karena racikan kuah kacangnya yang “moderat”, alias nggak terlalu cair tapi juga nggak terlalu kental.
Jadinya menyantap siomay suguhan Kang Is adalah bersiap menerima sepiring siomay, kentang, kubis, dan telur (kamu boleh memilih sendiri komposisinya sesuai selera), yang disiram dengan kuah kacang sedikit berminyak di atasnya. Dan pendapat saya sederhana pula.
Lidah saya menerima dengan baik racikan siomay Kang is.Click to TweetKuah kacang yang disiram di atas komposisi bahan makanan di atas menjadi pembeda di antara Siomay Kang Is dengan siomay lain yang pernah saya makan. Tekstur kuah kacangnya yang moderat dan nggak membuat tenggorokan seret, menjadikannya asyik sebagai pilihan.
Tentu saya tak lupa menambahkan sedikit perasan jeruk nipis ke atas siomay yang saya santap sore itu. Dan sungguh, campuran rasa gurih ikan, manisnya kuah kacang yang komposisinya pas, dan kentang yang terasa lembut, membuat saya sejenak melupakan kepenatan jalanan Jogja yang biasanya ruwet menjelang berbuka.
Sungguh beruntung saya menemukan Siomay Kang Is, persis ketika lapar menyergap menjelang waktu berbuka.