the Monkey Times – Pandemi COVID-19 membuat manusia berpikir ulang tentang kehidupan dan bagaimana agar mampu mempertahankan kehidupan. Masyarakat dunia sangat terdampak dengan adanya virus ini baik secara kesehatan fisik maupun mental.
Sebagai masyarakat yang hidup di negara penghasil rempah, masyarakat Indonesia menilik kembali fungsi rempah untuk meningkatkan daya tahan tubuh selama menghadapi wabah corona. Rempah adalah jenis hasil tanaman yang beraroma, seperti pala, cengkeh, lada untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan.
Mulai dari kebutuhan makanan, minuman, pengobatan, kecantikan, hingga kebutuhan spiritual pun rempah menjadi bahan yang akan dicari karena rempah memberikan banyak manfaat kepada manusia. Komoditas ini sudah sangat dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia dan selama pandemi ini mulai banyak bermunculan bisnis kuliner rempah yang dimodifikasi secara kekinian.
Apa sih yang terlintas di benak kamu saat ditawarkan untuk pesan makan lele? Pasti yang terbayangkan di benak kita adalah imajinasi lele goreng atau mangut lele yang selalu ada di warung tenda makan pinggir jalan.
Lele yang biasanya dihidangkan adalah lele utuh mulai dari kepala hingga ekor dan disajikan bersama sambal, lalu yang menyebalkannya lagi adalah lele yang biasanya kita makan sangat kurus dan dagingnya sedikit. Namun apakah pernah kamu mencicipi lele yang sudah di-fillet dan disajikan dengan sambal yang kaya akan rempah?
Awal Mula Mendirikan Roemah Minke
Maraknya masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong menuju Yogyakarta baik dalam rangka melanjutkan pendidikan atau sekadar berwisata membuat para pebisnis kuliner semakin didesak untuk semakin kreatif dan inovatif dalam menciptakan kuliner.
Selain menciptakan makanan yang mampu membuat pelanggan senang dan puas, kini pebisnis kuliner pun ditantang untuk menciptakan ‘suasana’ dan ‘ruang’ makan yang instagramable. Baik anak muda maupun generasi tua memiliki semacam kebiasaan untuk membuat ‘konten’ yang akan dibagikan di media sosial.
Selamat tujuh tahun, Agustinus Prasetya Bawa Nugraha (Nugraha) telah berkecimpung di dunia rempah dan budi daya ternak lele. Bersama rekannya Tri Broto Nugroho (Cawu), mereka mencoba menghasilkan produk dengan mengawinkan rempah dan ikan lele.
Nugraha yang fokus di budi daya ikan lele dan Cawu yang berkontribusi pada proses pembuatan makanan menjadi sebuah perjumpaan yang menarik hingga menghasilkan produk yang otentik. Berangkat dari sebuah semangat untuk mengolah rempah dan budi daya ikan lele tersebut, Nugraha bersama Cawu menginisiasikan untuk mendirikan sebuah warung makan di Desa Brayut Yogyakarta. Semangat ini juga muncul karena situasi pandemi yang membuat masyarakat semakin membutuhkan tempat untuk menemukan makanan dan minuman herbal.
Warung makan Roemah Minke berada di desa wisata Brayut, salah satu desa yang familiar di kalangan masyarakat Yogyakarta khususnya anak muda dan pecinta musik jazz karena desa ini pernah menjadi tuan rumah event Ngayogjazz 2012 dan 2014. Festival musik jazz ini memiliki konsep unik dan diselenggarakan di desa-desa sehingga event ini mampu membantu perekonomian masyarakat lokal.
Suasana pertanian desa dan masyarakat yang menawarkan wisata budaya setempat menjadi alasan kuat Ngayogjazz memilih Desa Brayut sebagai tuan rumah. Oleh karena itu, lokasi dan suasana Roemah Minke ini pun menjadi nilai plus bagi masyarakat yang ingin rehat sejenak dari kehidupan urban dan menikmati suasana desa.
Roemah Minke didirikan pada tanggal 12 Desember 2021. Nama ‘minke’ diambil dari dua kata yaitu ‘mint’ dan ‘kelor’. Penemuan nama warung ini semakin diperkuat dengan adanya rasa ketertarikan mereka pada novel Tetralogi Pulau Buru atau Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
Kisah Bumi Manusia dan spirit seorang tokoh Minke yang telah dikenal oleh masyarakat luas telah menginspirasi Nugraha dan Cawu untuk mendirikan warung makan Roemah Minke. “Belajar dari semua, berterima kasih pada segala yang memberimu kehidupan,” adalah gagasan yang menjadi spirit bagi Roemah Minke yang dikutip dari pernyataan Pramoedya Ananta Toer pada novel Bumi Manusia, “Kau harus berterima kasih pada segala yang memberimu kehidupan, sekali pun dia hanya seekor kuda.”
Menu Lele Anti Mainstream “Nasi Sambal Nyai”
Berkat kolaborasi dengan seorang pebisinis teh dari Kulon Progo Yogyakarta, Nugraha dan partnernya tersebut menciptakan perpaduan teh, daun mint, dan daun kelor sehingga minuman herbal minke menjadi salah satu menu otentik di Roemah Minke. Nugraha dan Cawu juga ingin ‘mendobrak’ stigma negatif ikan lele yang ada di benak masyarakat.
Ikan lele yang merupakan hasil budi daya Nugraha tersebut tidak hanya sekadar ikan lele yang hidup di kolam biasa, namun Nugraha berusaha agar ikan lele tersebut hidup dengan sehat dengan memperhatikan kualitas pakan lele, pola makan lele, kebersihan, hingga Nugraha memperhatikan pola gerak lele agar ikan tersebut tidak stres berada dalam kolam.
Hal ini menjadi fokus budidaya agar lele dapat berkembang menjadi lele yang sehat, gemuk, dan bersih. Proses ini dilakukan karena Nugraha dan Cawu menginginkan menu makanan yang anti mainstream. Mulai dari budidaya sampai penyajian menu makanan, semua dilakukan melalui proses yang cukup teliti.
Warung yang hanya buka pada hari Jumat hingga Minggu ini juga memiliki menu makanan khas yang jarang ditemui di tempat atau rumah makan di Yogyakarta, yaitu nasi sambal nyai. Nugraha dan Cawu terinspirasi dari karakter Nyai Ontosoroh (ibu mertua Minke dalam kisah Bumi Manusia) yaitu sosok perempuan pemberontak yang cerdas dalam memperjuangkan kehidupannya sebagai seorang gundik yang menikah dengan seorang pria Belanda.
Sikap ‘pemberontak’ ini menjadi inspirasi dalam menciptakan menu nasi sambal nyai, sehingga terciptalah sambal otentik yang pedas dari perpaduan cabai merah dan berbagai rempah. Sambal ini semakin memiliki nilai prestise karena dihidangkan bersama dengan lele yang tidak hanya sekadar lele goreng biasa atau pecel lele pada umumnya. Menu nasi sambal nyai ini disajikan dengan ikan lele fillet.
Menu otentik ini menjadi pemantik agar masyarakat dapat merasakan lele yang dihidangkan secara unik. “Rempah itu adalah harta kita. Sesuatu yang kita miliki itu kita harus menikmatinya, bahkan Eropa sendiri terobsesi dengan rempah,” ucap Nugraha yang optimis menjadikan rempah sebagai jiwa dari Roemah Minke.

Jika dilihat dari hasil komentar pengunjung Roemah Minke di laman google, (dapat di-searching dengan kata kunci ‘Roemah Minke’) sekilas kita dapat mengetahui bahwa pengunjung merasakan kenikmatan baik dari segi makanan dan minuman maupun dari segi lokasi.
Pengunjung merasakan kepuasan tersendiri karena dapat menikmati makanan yang sehat yang berasal dari bahan organik serta harganya yang terjangkau. ‘Rempah dan lele’ menjadi jiwa dari warung Roemah Minke, namun ‘perjumpaan’ adalah roh yang menghidupkan suasana Roemah Minke. Nugraha dan Cawu sangat terbuka dan menyambut hangat para pengunjung Roemah Minke.
Mereka berdua mengharapkan pengunjung dapat merasakan kehangatan dan ketenangan saat berada di Roemah Minke yang dekat dengan lahan pertanian masyarakat setempat. Mereka menginginkan bahwa tempat makan yang mereka dirikan tidak hanya sekadar menjadi tempat makan biasa.
Mereka berupaya agar warung tersebut menjadi ruang diskusi atau ruang obrolan sehingga terciptalah suasana intim antara pengunjung dengan pengunjung atau antara pemilik warung dengan pengunjung.